Travel in Love karya Diego Christian |
Saya tidak tahu apa yang membuat saya tertarik untuk membuat suatu karya sastra. Saya memang penggila baca, penggemar buku, sejak balita hingga usia kepala dua saat ini. Belum pernah sebelumnya terbersit di dalam pikiran untuk membukukan tulisan-tulisan saya, yang saya ragukan dapat membuat pembaca tertarik untuk membacanya. Mungkin pemikiran tersebut datang dari dua orang mahasiswa luar biasa ini, Diego Christian Immanuel dan Azhar Nurun Ala.
Mereka adalah dua penulis muda berbakat. Yang pertama adalah penulis novel remaja yang telah menerbitkan dua novel yang diterbitkan oleh penerbit mayor yang berbeda dan keduanya meraih penghargaan bergengsi. Novel-novelnya mendapat beragam pujian positif baik dari sesama penulis, maupun pembaca. Yang kedua bisa saya sebut seorang penyair, atau pujangga. Karya prosa bebas, cerpen dan puisi di blog pribadinya dikagumi dan menginspirasi banyak anak muda di seluruh Indonesia. Hingga akhirnya ia menerbitkan tulisan-tulisannya tersebut ke dalam sebuah antologi yang diterbitkan secara self publishing yang responnya sangat hangat. Bayangkan betapa inspiratifnya kedua penulis muda ini!!
Ja(t)uh karya Azhar Nurun 'Ala |
Keduanya adalah mahasiswa Universitas Indonesia, sama dengan saya (tapi saat ini saya lebih tepat disebut alumni karena sudah lulus sih. Hehe..). Merekapun juga berasal dari angkatan yang sama dengan saya, angkatan 2009, sehingga otomatis kami mengalami masa-masa orientasi universitas yang sama, mengalami saat-saat dimana organisasi kampus dipimpin oleh orang yang sama, dan mengalami beragam peristiwa yang mungkin serupa di kampus. Yahh, meskipun saya baru mengenal mereka beberapa hari belakangan ini. Bacaan mereka pun serupa dengan saya. Keduanya juga menggemari Dewi Lestari dan Paulo Coelho, saya pun begitu. Tidak, saya bukan berusaha untuk menyamakan diri dengan mereka semua. Saya sama sekali berbeda, belum layak disandingkan dengan kehebatan mereka. Mereka adalah pionir, inovator, dan inspirator terutama di bidang tulis menulis. Sementara saya hanyalah pengagum, pengikut, salah satu pembaca yang ikut terinspirasi akan karya-karya hebat mereka. Saya pun tak dapat memungkiri bahwa merekalah yang memercikkan semangat dan menginspirasi saya untuk menerbitkan tulisan-tulisan saya.
Seperti orang kebanyakan, saya pun merasa semangat di awal, beragam ide seakan mengalir tanpa henti. Saya pun dengan semangat menuliskan beragam gagasan saya, di buku catatan, di laptop, bahkan di notes BlackBerry. Tetapi ketika saya telah memasuki fasa ‘eksekusi’ beragam negativisme mulai menyerang saya. Mungkin yang saya tidak sadari adalah bahwa saya telah menempatkan ekspektasi yang tinggi terhadap karya saya kelak. Saya berharap karya yang akan saya buat nanti akan diterima secara luas dan baik oleh semua kalangan, seperti halnya dua orang penulis muda yang saya sebutkan di atas. Sehingga terbit keraguan dan pesimisme dalam benak saya bahwa tidak mungkin bagi saya menelurkan karya sehebat mereka.
Mungkin juga ekpektasi itu yang membuat saya tidak nyaman dalam mengeksekusi gagasan-gagasan menulis saya. Saya merasa melambat, tidak berhasrat penuh dalam menulis, hingga bahkan mandek karena merasa tidak jujur terhadap apa yang saya coba tuliskan. Saya pun akhirnya merasa tidak nyaman dan merasa ada sesuatu yang salah. Saya merasa kosong, hampa. Hingga akhirnya saya memutuskan untuk break sejenak dan memikirkan ulang apa yang kira-kira menjadi kesalahan saya dalam memulai semua ini. Ya, saya belakangan menyadari kesalahan saya memang dimulai sejak permulaan.
Saya juga membaca ulang beberapa buku favorit saya, terutama karya-karya Dewi Lestari dan Andrea Hirata. Saat membaca novel ‘Perahu Kertas’, saya disadari oleh salah satu penggalan cerita pada novel tersebut. Yaitu saat Keenan memberitahu Kugy bahwa cerpennya yang dimuat di majalah sama sekali tidak mencerminkan dirinya sesungguhnya yang berbeda saat ia menulis dongeng. Bahwa dalam cerpen tersebut, Kugy seperti merangkai kata-kata agar disukai pembaca, bukan berlari bebas seperti dalam dongengnya. Penggalan kisah ini kembali menyadarkan saya akan kejujuran dalam bercerita yang mungkin membuat saya merasa stuck karena hanya mendahulukan rangkaian kata, bukan kejujuran berkisah.
Ternyata masih belum selesai. Saya pun kemudian menyadari bahwa salah satu kesalahan saya dalam memulai ini adalah berekspektasi terlalu tinggi sehingga merasa khawatir akan kegagalan. Entah bagaimana muncul perasaan itu. Tetapi yang jelas saya bukanlah orang yang selalu terhindar dari kegagalan. Bahkan sebenarnya saya sudah terlalu sering gagal, jatuh berkali-kali di perasaan kecewa yang serupa dalam mendapatkan apa yang saya inginkan dan cita-citakan, terutama dalam berbagai kompetisi. Tetapi kegagalan-kegagalan itulah yang membuat saya memahami, mengerti, dan menghargai rasanya berada di puncak, ketika saya akhirnya bisa menjadi pemenang. Saya pun sadar saya tidak perlu lagi takut gagal. Saya hanya perlu memelihara perasaan itu pada seluruh proses kreatif saya.
Pemikiran-pemikiran itu yang akhirnya menyadarkan saya bahwa saya telah salah dalam memulai. Semoga setelah ini saya kembali menemukan diri saya, berkarya dengan penuh kejujuran terhadap apa yang memang ingin saya sampaikan kepada dunia, sehingga karya yang saya hasilkan akan mengalir apa adanya. Mohon doanya.. :)
SEMANGAT BANG!!!
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteKamu menulis karena kamu hanya ingin menulis. Nggak ada keinginan apa-apa selain menulis. Semoga nggak ada beban lagi saat menulis ya, Abi. :)
ReplyDeleteTerima kasih semuanya.. :)
ReplyDelete