Google Ghifari's Sketchbook - Learn Share Inspire
Showing posts with label Popular Science. Show all posts
Showing posts with label Popular Science. Show all posts

Mikroskop "Resolusi-Super" untuk Deteksi Struktur Nano



   Para peneliti telah menemukan suatu cara untuk melihat struktur nano sintetik dan molekul menggunakan mikroskop optik resolusi-super tipe baru yang tidak membutuhkan zat warna fluoresen, menjadikannya alat yang praktis untuk digunakan pada riset biomedis dan nanoteknologi. 

   "Mikroskop optik resolusi-super ini telah membuka jendela baru pada dunia nanoskop," ujar Ji-Xin Cheng, seorang associate professor teknik dan kimia biomedis dari Purdue University. Mikroskop optik konvensional dapat melihat objek berukuran tidak lebih kecil dari 300 nanometer (1 nanometer sama dengan sepermiliar meter), yang merupakan batasan yang disebut sebagai "limit difraksi". Limit difraksi didefinisikan sebagai setengah dari panjang gelombang cahaya yang digunakan untuk melihat spesimen pada mikroskop. Bagaimanapun, peneliti berharap mikroskop dapat digunakan untuk melihat struktur molekul seperti protein dan lipid, dan juga struktur nano sintetik seperti nanotabung yang memiliki diameter beberapa nanometer.

   "Limit difraksi merepresentasikan batasan fundamental dari resolusi pencitraan optik," ujar Cheng. "Stefan Hell dari Max Planck Institute dan lainnya telah mengembangkan suatu metode pencitraan resolusi-super yang membutuhkan penandaan fluoresens. Di sini, kami mendemonstrasikan suatu skema baru yang mendobrak limit difraksi pada pencitraan optik pada spesimen non-fluoresens. Karena bebas penanda, maka sinyal gelombang dari objek dapat langsung dideteksi sehingga kami dapat mempelajari lebih jauh struktur nano tersebut."

    Penjelasan mengenai penemuan ini secara detail dibahas pada makalah riset yang tampil sejak hari Minggu (28 April 2013) di jurnal Nature Photonics. Sistem pencitraan ini, yang disebut saturated transient absorption microscopy (STAM) menggunakan trio pancaran laser, termasuk pancaran laser yang berbentuk seperti donat yang hanya memendarkan beberapa molekul tertentu secara selektif. Elektron pada atom dari molekul yang berpendar keluar sesaat menuju tingkat energi yang lebih tinggi atau disebut juga sebagai proses eksitasi, sementara elektron lain tetap berada pada keadaan dasar. Citra objek dibentuk menggunakan laser yang mampu membandingkan perbedaan antara molekul dalam keadaan tereksitasi dan keadaan dasar.

   Para peneliti mendemonstrasikan sistem mikroskop tersebut dengan mengambil citra dari kepingan nano grafit yang memiliki lebar 100 nanometer. Sistem ini berpotensi besar pada studi nanomaterial, baik alami maupun sintetik. Riset selanjutnya di masa mendatang kemungkinan akan menyertakan laser dengan panjang gelombang yang lebih pendek. Ketika panjang gelombang cahaya memendek, peneliti dimungkinkan untuk meneliti objek yang lebih kecil secara lebih fokus.


ScienceDaily


Read more...

Fosil Predasi Pertama di Muka Bumi Ditemukan


   Sebuah fosil kecil berusia 1,9 miliar tahun yang berasal dari batu di sekitar Danau Superior, Kanada, memberikan gambaran pertama mengenai predasi organisme yang memakan organisme lainnya serta memberikan prediksi seperti apa rupa Bumi purba pada saat pertama kali terbentuk kehidupan. Fosil yang terawetkan oleh tanah kapur di sekitar danau ini menggambarkan aksi suatu mikroba purba sedang memakan fosil yang mirip cyanobacterium (bakteri cyan atau hijau-biru) yang disebut Gunflitia.

   Tim riset yang dipimpin oleh Dr. David Wacey dari University of Western Australia dan Bergen University, Norwegia dan Professor Martin Brasier dari Oxford University telah melaporkan hasil penelitian ini pada jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS). Disebutkan pada jurnal tersebut bahwa hasil penelitian tim ini menjadi bukti awal terbentuknya spesies heterotrofi yang memperoleh makanan dari bahan organik. Mereka juga menunjukkan bahwa kebanyakan mikroba purba tampaknya sangat menyukai Gunflitia sebagai kudapan lezat mereka dibanding jenis bakteri lainnya yang telah hidup pada saat itu seperti Huroniospora.

   "Apa yang kami sebut 'heterotrofi' di sini adalah hal yang sama terjadi ketika setelah kita makan malam, bakteria di usus kita memecah materi organik," ujar Professor Martin Brassier dari Departemen Ilmu Bumi Universitas Oxford, penulis makalah tersebut. "Sementara itu, terdapat bukti kimia yang menunjukkan bahwa  mode heterotrofi ini telah ada sejak 3,5 miliar tahun yang lalu. Pada studi ini untuk pertama kalinya kami dapat mengidentifikasi apa yang sebenarnya terjadi dan 'siapa yang memakan siapa'. Faktanya kita semua mengalami hal ini di tubuh kita dimana bau yang dihasilkan seperti telur busuk karena hidrogen sulfida yang dihasilkan sebagai gas buang proses tersebut. Sehingga, cukup mengherankan, bahwa kami dapat menyimpulkan kehidupan di Bumi pada 1,9 miliar tahun yang lalu akan berbau seperti telur busuk.

   Tim menganalisis fosil mikroskopik yang diameternya bervariasi antara 3-15 mikron (mikrometer) menggunakan teknik terbaru dan menemukan bahwa sebuah bentuk tubular yang diyakini merupakan selubung luar dari Gunflitia ternyata lebih berlubang setelah kematiannya dibandingkan fosil bakteria lainnya. Temuan ini konsisten dengan pernyataan bahwa Gunflitia lebih disukai sebagai makanan oleh mikroba dibanding jenis bakteri lainnya.

   Pada beberapa tempat kebanyakan fosil berukuran mikro telah tergantikan sebagian atau seluruhnya oleh besi sulfida, suatu hasil samping dari bakteria heterotrofik pereduksi sulfur/belerang yang juga merupakan penanda yang paling terlihat. Tim ini juga menermukan bahwa fosil Gunflitia ini juga membawa sejumlah kelompok bakteria berbentuk tabung yang lebih kecil, berukuran sekitar 1 mikron yang kemungkinan juga terlibat dalam konsumsi inang mereka.

   Dr. Wacey berkata: "analisis geokimia saat ini telah menunjukkan bahwa aktivitas berbasis sulfur dari bakteria dapat dideteksi hingga 3,5 miliar tahun yang lalu seperti yang kami laporkan pada jurnal Nature Geoscience pada tahun 2011. Sementara itu fosil Gunflint memiliki usia hanya sekitar setengah dan fosil tersebut juga menjadi bukti bahwa bakteria semacam itu berkembang biak dengan sangat baik pada masa itu sehingga mereka memiliki banyak pilihan terhadap apa yang mereka makan."

ScienceDaily


Read more...

Sangkar Protein untuk Melawan Penyakit


  Perkembangan dunia medis dan pengobatan saat ini sangat pesat. Hal ini juga dikarenakan perkembangan berbagai ilmu terkait yang juga meningkat pesat. Baru-baru ini, ahli biokimia dari UCLA berhasil merancang protein terspesialisasi yang dapat mengatur diri mereka sendiri untuk membentuk suatu sangkar molekuler yang sangat kecil, ratusan kali lebih kecil dari ukuran sel normal. Kreasi struktur miniatur ini dapat menjadi suatu langkah besar dalam mengembangkan metode penghantaran obat dan bahkan desain vaksin artifisial.

  Desain sangkar molekuler ini menggunakan pemodelan komputer dimana dua molekul protein yang berbeda dilihat kemungkinannya untuk dapat menyatu membentuk sangkar tiga dimensi yang sempurna. Pemodelan ini sekilas serupa dengan memasang potongan puzzle. Apabila dua molekul protein acak disatukan, maka kemungkinannya membentuk jaringan yang stabil akan sedikit dan akan terbentuk lebih banyak jaringan yang irreguler. Untuk menentukan geometrinya diperlukan pengetahuan mengenai sisi rigid dari protein agar dapat membentuk jaringan stabil.

  Sangkar protein ini dapat didesain memiliki rongga sehingga dapat diisi dengan molekul obat. Sangkar ini diharapkan dapat dimanfaatkan pada teknologi penghantaran obat yang menuju target sel yang spesifik seperti sel tumor atau kanker. Sangkar ini juga dapat didesain agar memiliki pori-pori yang cukup agar senyawa obat dapat keluar saat mendekati sel target.

  Fungsi lain sangkar protein yang tak kalah hebat adalah sebagai vaksin artifisial. Vaksin biasanya diperoleh dari partikel virus/virion yang telah dilemahkan (attenuated vaccine). Virion yang telah dilemahkan ini kemudian diinjeksikan ke dalam pembuluh darah sehingga tubuh dapat membentuk imunitas terhadap partikel virus tersebut. Meski efektif, kelemahan metode ini adalah sulitnya melemahkan virus karena tingkat bahayanya sehingga sangat berisiko untuk digunakan pada manusia. Untuk itu saat ini telah dicari solusi lainnya untuk melawan virus yaitu dengan menggunakan vaksin buatan/artifisial.

  Vaksin artifisial merupakan vaksin yang bukan berasal dari partikel virus/virion tetapi berasal dari molekul lain dengan struktur yang serupa. Sangkar protein ini dapat dimanfaatkan sebagai vaksin artifisial dengan struktur yang menyerupai partikel virus yang asli. Sangkar protein ini dapat mengelabui sistem imunitas tubuh sehingga menganggapnya sebagai partikel virus yang sedang menyerang sel tubuh. Tentu metode ini tidak selalu berhasil, tetapi struktur sangkar protein yang kecil dan menyerupai struktur virus dapat menghasilkan respon imunitas yang bahkan dapat melebihi respon terhadap vaksin konvensional.

  Untuk penggunaannya pada penghantaran obat, sangkar protein sebaiknya berasal dari protein manusia atau protein yang menyerupai struktur protein pada manusia. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi penghantaran obat karena sistem imun tidak menganggapnya sebagai protein asing yang harus dihancurkan.

  Desain molekul protein dengan struktur dan geometri yang diinginkan dapat terlebih dahulu menggunakan pemodelan komputer, yang berarti membutuhkan pengetahuan bioinformatika terutama mengenai sekuens asam amino dan folding protein. Realisasi metode ini membutuhkan penelitian lebih lanjut di bidang biologi struktural, bioinformatika, dan teknik biomedis. Tentu kita berharap metode ini segera terealisasikan agar berbagai permasalahan di bidang medis dapat teratasi, terutama permasalahan drug delivery dan vaksin.

Read more...

Deteksi Struktur Protein Hingga Ke Tingkat Atomik


  Protein merupakan salah satu biomolekul terpenting yang ditemui di seluruh bentuk kehidupan di muka bumi, bahkan pada virus. Peran sentralnya sebagai membran, transporter, pembentuk organel sel, hingga enzim-enzim regulator metabolisme membuat studi terhadap protein terus dikembangkan dan tidak pernah ada habisnya. Salah satu studi mengenai protein yang paling dicermati saat ini adalah mengenai bentuk dan struktur protein.

  Struktur protein tiga dimensi penting untuk diketahui sebab dapat merepresentasikan aktivitas, fungsi, stabilitas, maupun paramater fisika-kimia lainnya. Metode penentuan struktur tiga dimensi protein yang luas digunakan saat ini adalah kristalografi sinar-X (X-ray crystallography). Kristalografi sinar-X menggunakan pancaran sinar-X yang ditembakkan mengenai suatu protein yang telah dimurnikan atau memiliki kemurnian tinggi sehingga berbentuk kristal. Pancaran gelombang sinar-X yang mengenai struktur kristal protein kemudian akan terhambur. Hamburan sinar-X yang muncul kemudian dibaca dan struktur kristal protein dapat diketahui.

  Kendala yang dihadapi saat ini adalah performa dari instrumen itu sendiri dimana resolusi gelombangnya masih rendah sehingga struktur protein tidak dapat ditentukan secara pasti. Tim riset dari SLAC National Accelarator Laboratory dari Departemen Energi Amerika Serikat telah mengembangkan metode kristalografi sinar-X terbaru yang menggunakan laser sinar-X beresolusi ultra-tinggi (ultra-high resolution) yang mereka sebut SLAC Linac Coherent Light Source (LCLS). Instrumen ini  termasuk ke dalam jenis Coherent X-ray Imaging (CXI).

  Metode ini dikembangkan dari kristalografi sinar-X konvensional dimana perbedaannya terletak pada pulsa sinar-X yang digunakan. LCLS menggunakan kristalografi femtosekon (10-15 s) dan pencitraan split-second laser sinar-X dengan panjang gelombang yang sangat pendek dan berintensitas tinggi. Teknik ini membuat para ilmuwan dapat meneliti struktur protein dengan ukuran yang lebih kecil namun memiliki resolusi tinggi. LCLS juga dapat digunakan untuk studi dinamika molekuler protein yang diamati.

  Tim peneliti tersebut pertama kali menguji metode ini untuk meneliti struktur suatu protein sederhana yang terdapat pada putih telur, lisozim. Lisozim merupakan suatu enzim penghancur yang mudah dimurnikan dan dikristalisasikan serta telah banyak dipelajari sehingga cocok digunakan pada eksperimen ini.  Tim ini menyimpulkan bahwa metode ini bahkan dapat memprediksi strukturnya hingga ke tingkat atom individual dari protein dan bukan hanya sekuens asam aminonya. Meskipun laser sinar-X akan menghancurkan seluruh struktur, namun difraksi sinarnya lebih dahulu sampai ke detektor. Metode ini merupakan metode pertama yang mendemonstrasikan difraksi sebelum kehancuran molekul dan tetap menghasilkan citra yang beresolusi tinggi.

  Metode ini akan diujikan untuk menganalisis sampel protein yang jauh lebih kompleks, misalnya protein membran yang sangat penting pada fungsi sel hingga protein-protein fungsional yang terlibat pada proses fotosintesis. Penemuan metode ini juga diperkirakan akan sangat berpengaruh terhadap penemuan di berbagai ranah sains lainnya, misalnya di bidang medis, farmaseutika, hingga energi alternatif.

Sumber dan Sumber Gambar: www.sciencedaily.com

Read more...

Tumbukan Raksasa Galaksi Bimasakti, Andromeda, dan Triangulum


  Para astronom NASA (National Aeronautics and Space Administration) saat ini telah memprediksikan dengan yakin suatu peristiwa kosmik besar yang akan mempengaruhi galaksi, matahari, dan sistem tata surya kita. Peristiwa itu adalah tumbukan raksasa antara galaksi Bimasakti dengan galaksi terdekat, Andromeda.

Bimasakti diperkirakan akan mengalami perubahan besar ketika peristiwa tersebut terjadi, yang kemungkinan akan terjadi empat miliar tahun dari sekarang. Meskipun matahari diprediksikan akan berpindah tempar ke region lain di dalam Bimasakti, Bumi dan sistem tata surya diperkirakan tidak mengalami kehancuran. Hal tersebut dikonfirmasi kebenarannya oleh Roeland van der Marel dari Space Telescope Science Institute (STScI) di Baltimore.

  Prediksi ini didasarkan atas hasil pengamatan teleskop ruang angkasa Hubble milik NASA yang mengukur pergerakan galaksi Andromeda. Data-data dari teleskop Hubble tersebut dibuat suatu simulasi komputer yang mengolah data kecepatan gerak dan interaksi antar-galaksi seperti pada semesta lokal. Perhitungan kecepatan galaksi secara akurat menggunakan teorema efek Doppler yang mengukur perubahan frekuensi gelombang elektromagnetik akibat perubahan posisi. Menurut simulasi ini, Andromeda yang memiliki kecepatan gerak 2000 kali dari Bimasakti sekitar 250,000 mil/jam, akan bertabrakan dengan Bimasakti dalam kurun waktu empat miliar tahun lagi.

  Andromeda saat ini berada sekitar 2.5 juta tahun cahaya dari Bimasakti, namun gaya tarik-menarik gravitasi dan “materi gelap” yang tak terlihat di antara galaksi besar tersebut akan membuat Andromeda kian mendekat dan bertumbukan dengan Bimasakti. Sistem tata surya diperkirakan akan berubah posisi, dari semula di sekitar titik tengah Bimasakti akan terlempar jauh dari titik semula.

   Lebih rumit lagi, terdapat kemungkinan bahwa galaksi Triangulum, salah satu bagian kecil galaksi Andromeda akan ikut bertumbukan. Kemungkinan Triangulum akan bergabung dengan gabungan galaksi Andromeda-Bimasakti atau bahkan lebih dahulu bertumbukan dengan Bimasakti sebelum Andromeda tiba.

Sumber dan Sumber Gambar : www.sciencedaily.com

Read more...

Mengenal Xylitol Gula Langka yang Menyehatkan

  Anda mungkin pernah mendengar nama xylitol pada beberapa produk seperti permen dan pasta gigi. Jenis gula ini dinilai dapat mengatasi masalah kesehatan gigi dan lainnya. Namun apa sebenarnya kelebihan xylitol dibandingkan jenis gula lain yang kita kenal selama ini?

  Xylitol sebenarnya bukan merupakan molekul gula monosakarida (gula tunggal) yang memiliki gugus kimia aldehida (seperti pada glukosa) atau keton (seperti pada fruktosa). Gula langka ini merupakan senyawa berkarbon lima dengan lima gugus alkohol/hidroksil (disebut juga pentitol). Xylitol disebut gula langka karena hanya sedikit terdapat pada buah dan sayuran alami dan pembuatannya boleh dikatakan cukup sulit dibanding senyawa pemanis lainnya. Oleh karena itu dari segi harga pun, xylitol merupakan salah satu pemanis termahal dibanding pemanis lainnya.

  Tingkat kemanisan xylitol yang setara dengan sukrosa (gula dapur) membuatnya banyak digunakan sebagai pemanis produk makanan dan confectionary. Kelebihannya dibanding sukrosa adalah energinya yang lebih rendah, yaitu hanya 2.4 kalori/gram dibanding dengan sukrosa yang mencapai 4 kalori/gram. Xylitol juga memiliki kelarutan yang sangat baik di dalam air dan menimbulkan sensasi dingin ketika larut di mulut sehingga banyak digunakan pada produk permen mint, permen karet, dan pasta gigi. Namun lebih dari itu semua kelebihannya yang utama adalah efek biologisnya yang menyehatkan.

  Xylitol yang memiliki kalori yang rendah sangat bermanfaat sebagai pemanis makanan/minuman bagi penderita diabetes. Gula langka ini juga bermanfaat mencegah karang gigi dan karies. Hal ini dikarenakan keberadaan xylitol akan menekan pertumbuhan bakteri di dalam mulut yang kebanyakan mengonsumsi glukosa sebagai bahan makanan mereka, sehingga bakteri tersebut tidak dapat berkembang biak dengan baik pada kondisi tinggi xylitol. Manfaat xylitol inilah yang telah digunakan pada dunia kedokteran gigi dan juga pada beberapa produk perawatan dental seperti permen karet anti-karies dan pasta gigi. Selain itu, xylitol juga ditemukan dapat mencegah infeksi telinga pada anak-anak.

  Saat ini industri xylitol sangat menjanjikan dan teknologi sintesisnya terus dikembangkan. Gula langka ini memang sulit diperoleh secara alami dan harus disediakan lewat jalan sintesis kimiawi atau biologis. Jalur sintesis kimiawi untuk xylitol antara lain dengan hidrogenasi D-xylosa menggunakan katalis logam. Namun, dikarenakan D-xylosa merupakan prekursor yang cukup mahal, saat ini para ilmuwan tengah mengembangkan teknik sintesis xylitol dari D-glukosa.

  Selain sintesis secara kimiawi, metode sintesis lainnya yang paling banyak digunakan adalah dengan metode bioteknologi mikrobiologi. Metode ini menggunakan mikroorganisme yang diberi “makan” berupa gula xylosa sehingga akan menghasilkan xylitol yang kemudian akan dipanen. Mikroorganisme yang cukup potensial untuk menghasilkan xylitol antara lain ragi Saccharomyces cereviseae dan Candida utilis. Kelebihan metode ini ialah hasilnya yang mencapai persentase yang lebih tinggi dibanding sintesis kimiawi yaitu hingga mencapai 95% hasil. Tetapi jelas metode ini membutuhkan fasilitas teknologi yang maju dan relatif mahal.

  Di Indonesia sendiri, xylitol masih diimpor dari luar karena ketiadaan teknologi untuk sintesisnya. Sebagai produk yang cukup menjanjikan di masa depan, tentu kita berharap Indonesia dapat berswasembada xylitol lewat kerjasama para ilmuwan, industri, dan pemerintah.

Sumber gambar: http://sunningdaledentalblog.files.wordpress.com

Read more...

Terobosan Nanoteknologi di Bidang Medis


  Tes medis yang saat ini banyak digunakan menggunakan metode immunoassay. Immunoassay merupakan metode deteksi biomarker (penanda bio) yang berhubungan dengan penyakit tertentu yang mengikuti prinsip sistem imun dalam mengenali senyawa asing. Keberadaan biomarker ditentukan dari sampel biologis seperti darah dan urin. Immunoassay dapat mendeteksi keberadaan biomarker tertentu lewat serangkaian reaksi yang melibatkan protein antibodi dan senyawa kimia yang dapat menghasilkan fluoresensi atau perpendaran cahaya.

  Fluoresensi tersebut dapat dideteksi dengan mikroskop ataupun instrumen lainnya. Semakin tinggi intensitas cahaya yang berpendar semakin tinggi pula konsentrasi biomarker, begitupun sebaliknya. Namun apabila konsentrasi biomarker sangat kecil, deteksi immunoassay konvensional belum mampu mendeteksinya. Padahal penentuan ini sangat penting untuk deteksi dini berbagai penyakit seperti kanker, Alzheimer’s, maupun kelainan lainnya. Sehingga peningkatan batas deteksi menjadi penting dalam riset immunoassay lebih lanjut.

  Para ilmuwan dari Princeton University telah mengembangkan  suatu deteksi immunoassay lanjut yang dapat meningkatkan batas deteksi hingga tiga juta kali lipat dibandingkan immunoassay konvensional dengan bantuan nanoteknologi. Teknik immunoassay terbaru ini menggunakan suatu nanopartikel yang disebut D2PA. Nanopartikel ini terdiri atas lapisan tipis nanostruktur emas (Au) berdiameter 10-15 nanometer yang dilingkupi oleh pilar gelas membentuk partikel berdiameter 60 nanometer. Nanopartikel ini memiliki kemampuan untuk mengumpulkan cahaya yang ditransmisikan oleh antibodi yang mengandung biomarker dan fluoresens yang berpendar pada analisis immunoassay. D2PA terbukti dapat meningkatkan sinyal transmisi perpendaran hingga satu miliar kali. Efek ini disebut sebagai hamburan Raman permukaan.
Secara teknis, para peneliti tersebut dapat mendeteksi keberadaan biomarker pada konsentrasi 300 attomolar (1 attomolar = 10-9 nanomolar) dibandingkan batas deteksi biomarker pada analisis immunoassay konvensional yang hanya 0.9 nanomolar. Dapat dikatakan bahwa batas deteksi immunoassay dengan bantuan nanopartikel meningkat hingga tiga juta kali lipat. Riset ini tentu suatu terobosan yang sangat penting dalam dunia medis dan kedokteran, dimana penyakit-penyakit seperti kanker dapat terdeteksi lebih awal sehingga penanganannya jauh lebih mudah.

Sumber dan Sumber Gambar: www.sciencedaily.com

Read more...

Bioinformatika dan Revolusi Pertanian


  Indonesia merupakan negara berpenduduk keempat terbesar keempat di dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat. Pun Indonesia merupakan negara konsumen beras terbesar ketiga di dunia setelah China dan India. Fakta itu tentu merepresentasikan kebutuhan pangan Indonesia yang sangat besar.

  Permasalahan pangan di Indonesia bukanlah suatu hal yang dapat dianggap remeh. Kompleksitas masalahnya dimulai dari kecilnya lahan pertanian, minimnya produktivitas tanaman pangan, birokrasi pertanian yang kurang menguntungkan petani, mahalnya harga komponen pertanian, kegagalan program diversifikasi pangan, dan segudang masalah lainnya. Berkaitan dengan permasalahan produktivitas pangan, mungkin Indonesia patut mencontoh negara-negara maju seperti Amerika Serikat, negara-negara Eropa Barat, dan Jepang. Mereka merupakan negara yang sangat meningkatkan produktivitas tanaman pangannya karena sangat menerapkan ilmu bioteknologi pertanian dan bioinformatika.

  Lalu apa kaitan bioinformatika dengan revolusi pertanian? Bioinformatika sebenarnya merupakan ranah ilmu yang tergolong baru dan belum banyak berkembang di Indonesia. Bioinformatika merupakan gabungan antara ilmu biologi dengan informatika, dimana hasil penelitian biologi dibentuk menjadi data digital dan kemudian diolah untuk menghasilkan suatu informasi baru.

  Teknologi rekayasa genetika merupakan salah satu bidang yang sangat membutuhkan riset bioinformatika.   Sekuens gen unggul pada suatu organisme agar dapat disisipkan ke organisme lain yang diinginkan dapat ditentukan melalui analisis genomik dari basis data genom organisme tersebut. Analisis genomik merupakan salah satu ranah bioinformatika.

  Revolusi pertanian yang mengubah paradigma pertanian konvensional dengan menghasilkan spesies tanaman pangan unggul hasil rekayasa genetika. Salah satu contoh dapat terlihat jelas pada padi, tanaman pangan pokok setengah penduduk dunia termasuk Indonesia. Padi yang rentan hama, pertumbuhannya lambat, dan produktivitasnya dalam menghasilkan beras rendah kini tergantikan oleh padi hasil rekayasa genetika. Padi hasil rekayasa genetika saat ini telah disisipkan gen penghasil antihama yang berasal dari bakteri, gen enzim fotosintesis dari tanaman C4 seperti jagung dan tebu untuk meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas, bahkan disisipkan gen penghasil beta-karoten untuk meningkatkan nutrisi beras.

  Terlihat bahwa riset bioinformatika ternyata juga memegang peranan penting dalam permasalahan pangan. Indonesia yang saat ini banyak tertinggal riset dasar dan terapannya harus berbenah diri dengan meningkatkan jumlah dan kompetensi riset demi mengejar ketertinggalan di berbagai sektor dari negara maju, bahkan negara berkembang seperti China dan India.

Sumber Gambar: www.hopkinsmedicine.org

Read more...

Lisozim: Penangkal Bakteri Alami pada Airmata


  Mata kita sebagai salah satu organ yang paling sensitif dilindungi oleh organ lain dan zat kimia tertentu. Mulai dari rambut mata, alis, dan kelopak mata yang melindungi secara fisik, mata juga dilindungi oleh airmata yang melindungi secara kimiawi. Airmata ternyata tidak hanya memiliki fungsi untuk melumasi mata yang kering tetapi juga melindungi mata dari mikroorganisme berbahaya terutama bakteri.

  Sekitar seabad yang lalu, peraih Nobel bidang kedokteran Alexander Fleming menemukan bahwa airmata mengandung protein yang bersifat antiseptik yang disebut lisozim. Setelah penemuan ini telah banyak penelitian yang dilakukan untuk mengetahui struktur dan cara kerja protein tersebut dalam membunuh bakteri.

  Tim peneliti dari University of California Irvine menemukan bahwa struktur lisozim tersebut seperti memiliki semacam “mulut” yang dapat “memangsa” bakteri berbahaya. Tim ini menggunakan suatu transistor yang sangat kecil sekitar 25 kali lebih kecil daripada sirkuit laptop atau smartphone. Lisozim ditempelkan pada transistor ini dan kemudian aktivitasnya dipantau. Pengamatan menunjukkan bahwa lisozim memang memiliki struktur seperti mulut yang dapat memakan bakteri lewat jalan menghancurkan dinding selnya. Hal ini dimungkinkan karena adanya aktivitas katalitik dari lisozim.

  “Mulut lisozim tersebut akan mengunyah bagian dinding sel bakteri yang masuk dan ingin menginfeksi mata kita,” jelas Professor Gregory Weiss, seorang ahli biologi molekular yang merupakan wakil ketua proyek ini. Butuh beberapa tahun bagi para peneliti dari UCI ini untuk menyusun transistor ekstra kecil ini dan dapat digunakan untuk mendeteksi aktivitas dari protein pada airmata.

  Para peneliti berharap teknologi ini juga dapat digunakan untuk mendeteksi molekul karsinogenik penyebab kanker. Gregory Weiss, yang kehilangan ayahnya akibat menderita kanker paru-paru, mengatakan apabila suatu molekul terdeteksi terkait dengan kanker maka kita akan dapat mendeteksi keberadaan kanker jauh lebih awal. Apabila keberadaan kanker diketahui jauh lebih awal, pasien akan memiliki peluang untuk sembuh jauh lebih besar.

Disarikan dari ScienceDaily.Com
Sumber gambar: http://www.urmc.rochester.edu

Read more...

Protein Berumur Panjang Penangkal Penuaan Sel


  Salah satu pertanyaan terbesar dalam bidang ilmu biologi adalah: bagaimana sel menua? Saat ini, para ilmuwan dari Salk Institue for Biological Studies melaporkan bahwa mereka menemukan kelemahan dari salah satu komponen yang menyebabkan terjadinya penuaan pada sel otak. Para ilmuwan tersebut menemukan beberapa protein yang disebut sebagai protein berumur sangat panjang (extremely long-lived proteins/ELLPs). Protein ini ditemui pada permukaan inti sel neuron dan yang mengejutkan adalah memiliki waktu hidup jauh lebih lama dibanding protein-protein lainnya di dalam tubuh.

  Apabila kebanyakan protein dalam tubuh hanya berumur sekitar dua hari, para peneliti ini menemukan bahwa ELLPs pada otak tikus memiliki umur yang tidak jauh berbeda dengan umur organisme itu sendiri. Penemuan mereka ini telah dipublikasikan pada jurnal Science. Peneliti tersebut pertama-tama menemukan suatu “mesin” intraselular yang esensial dimana salah satu komponennya adalah protein. Mereka berasumsi bahwa protein ini tidak tergantikan selama berada pada “mesin” tersebut.

  ELLPs membentuk saluran transportasi pada permukaan inti sel yang dapat diibaratkan sebagai pintu yang mengatur bahan-bahan kimia yang masuk dan keluar. Tidak seperti protein lainnya di dalam tubuh, ELLPs tidak digantikan selama masih mengalami aktivitas yang normal, dan tidak mengalami modifikasi kimia atau kerusakan lainnya.

  Kerusakan pada ELLPs dapat melemahkan kemampuan saluran transportasi tiga dimensi yang terdiri atas protein-protein ini. Apabila ELLPs yang berperan sebagai pelindung sel dari toksin ini rusak, maka selanjutnya toksin tersebut akan mengubah struktur DNA sel dan mengganggu aktivitas gen, sehingga menyebabkan terjadinya penuaan sel.

  Pada kebanyakan sel makhluk hidup, kecuali neuron, sel melawan kerusakan fungsional yang disebabkan oleh perubahan struktur protein. Sehingga protein-protein tersebut perlu diganti dengan protein yang baru yang memiliki fungsi sesuai dengan sebelumnya. Menurut Martin Hetzer, seorang professor di Salk’s Molecular and Cell Biology Laboratory yang merupakan ketua tim peneliti ini, kerusakan pori-pori inti sel kemungkinan merupakan mekanisme utama terjadinya kerusakan fungsi inti sel yang berkaitan dengan usia.
Penemuan ini semakin membuktikan pemahaman saat ini akan relevansi dari sifat penuaan dari molekul tertentu pada sel dengan kelainan-kelainan neurodegeneratif seperti penyakit Alzheimer dan Parkinson.

Disarikan dari ScienceDaily.Com
Sumber gambar: http://www.sciencedaily.com

Read more...

Menjelaskan Cinta Secara Biokimia (Bagian Kedua)


  14 Februari merupakan hari yang diperingati banyak orang sebagai “Valentine’s Day” atau hari Valentine yang sering dikaitkan dengan cinta dan kasih sayang. 14 Februari lebih sering dirayakan oleh mereka yang berpasangan dan sedang dimabuk asmara. Namun apa itu cinta? Cinta seringkali dikaitkan dengan istilah chemistry. Ya, chemistry dengan arti harfiah “kimia”. Ternyata pernyataan ini tidak sepenuhnya salah karena beberapa senyawa kimia tertentu memang berperan dalam proses terbentuknya perasaan ini. Begitu pula yang terjadi di antara pasangan yang mengalami cinta yang romantis, tidak luput dari pengaruh berbagai senyawa kimia di dalam tubuh, terutama di dalam otak. Setelah artikel sebelumnya membahas mengenai love at first sight serta maternal love & unconditional love, berikut adalah bentuk perasaan cinta lainnya yang dapat dijelaskan secara ilmiah.

Romantic Love (Cinta Romantis)
  “Cinta yang romantis adalah candu,” terang Helen E. Fisher, seorang antropolog biologis Rutgers University. Menurutnya, sistem otak untuk cinta yang romantis telah berevolusi sejak jutaan tahun silam dimana leluhur kita untuk memfokuskan energi mereka pada kecocokan dengan orang lain pada suatu waktu tertentu. Karena hal inilah mungkin sebagian besar orang merasa sakit ketika ditolak cintanya. Fisher juga menerangkan bahwa sistem otak tersebut kemungkinan bertujuan agar seseorang mendapat kembali cintanya karena energinya fokus tercurahkan untuk hal tersebut.

  Sistem otak yang bertanggungjawab terhadap perasaan tersebut adalah dopaminergic subcortical system, nama ini pertama kali diperkenalkan oleh Stephanie Ortigue dari Syracuse University. Sistem ini dapat aktif apabila terdapat pengaruh senyawa kimia penyebab euphoria semisal kokain. Ternyata, sistem ini juga diketahui menjadi aktif secara signifikan apabila seseorang mengalami cinta yang romantis. Ortigue juga menerangkan bahwa sistem ini dapat memotivasi seseorang untuk mendapatkan cinta yang diinginkannya. Melalui penjelasan ini terlihat nyata bahwa ternyata cinta memang tidak hanya urusan hati tetapi juga dipengaruhi oleh otak.

 Broken Heart (Patah Hati)
  Telah dijelaskan sebelumnya bahwa cinta yang romantis memang dipengaruhi oleh sistem pada otak yang disebut dopaminergic subcortical system. Sistem ini memfokuskan energi kita untuk mendapatkan cinta yang kita inginkan. Namun pada kenyataannya tidak semua hal terjadi sesuai dengan yang kita inginkan, termasuk dalam hal cinta. Kemungkinan yang terjadi bisa saja berupa penolakan dan pemutusan hubungan yang berakhir dengan perasaan “patah hati”.

   Studi mengenai aktivitas otak dari orang yang mengalami patah hati dilakukan oleh Helen E. Fisher dan timnya dari Rutgers University. Fisher dan timnya memindai 15 otak partisipan yang berusia setara, yakni duduk di bangku kuliah, 10 wanita dan 5 pria. Semua memiliki pengalaman sedang putus cinta tapi masih mencintai mantannya. Rata-rata hubungan percintaan mereka adalah 2 tahun, dan sudah putus sekitar 2 bulan. Partisipan juga mengatakan bahwa mereka menghabiskan lebih dari 85 persen waktu terjaga mereka untuk memikirkan kenapa mereka ditolak pasangannya.

   Pada eksperimen tersebut, partisipan diminta memandang foto mantan kekasihnya dan mereka juga ditanyai mengenai semua kenangan yang dialami bersamanya. Mereka juga diminta memandang foto anggota keluarga dan orang-orang terdekatnya. Beberapa fakta yang terungkap adalah sebagai berikut:
  • Memandang foto mantan menstimulasi bagian otak bernama ventral tegmental area yang terlibat dalam motivasi dan perasaan dihargai. Studi sebelumnya juga menyatakan bahwa bagian ini juga menjadi aktif ketika seseorang sedang jatuh cinta. Ini cukup masuk akal, sebab baik dalam keadaan sedih atau senang, saat kita mencintai seseorang maka kita akan tetap mencintainya.
  • Bagian otak bernama nucleus accumbens dan orbitofrontal/prefrontal cortex juga ikut aktif. Ini adalah bagian otak yang berhubungan dengan kecanduan intens seperti pada kokain dan rokok.
  • Terjadi pula peningkatan aktivitas di bagian otak bernama insular cortex dan anterior cingulated, bagian yang terkait dengan rasa sakit dan rasa susah.
  Kabar baik dari para peneliti bagi orang yang sedang patah hati adalah: waktu yang akan menyembuhkan. Hal ini bukanlah pepatah kuno belaka, namun memang terbukti lewat studi. Seiring berjalannya waktu, aktivitas pada bagian-bagian otak tersebut perlahan-lahan menurun yang menunjukkan berkurangnya perasaan patah hati.

  Waktu memang dapat menyembuhkan patah hati. Namun obat terbaik sepertinya membiarkan diri kita berada dalam perasaan cinta itu kembali, atau dengan kata lain: jatuh cinta lagi!! :D

Diolah dari berbagai sumber
Sumber gambar: http://cdnimg.visualizeus.com dan http://bindlestiffs.com

Read more...

Menjelaskan Cinta Secara Biokimia (Bagian Pertama)

 
   Apa pendapat Anda tentang cinta? Cinta itu buta, cinta itu tak masuk akal, cinta itu irrasional, atau cinta itu hanya urusan hati? Apakah kalimat-kalimat tersebut yang sering Anda dengar tentang cinta? Jika Anda berpikiran sama, sebaiknya pikirkan dulu baik-baik karena sebenarnya cinta dan segala hal mengenainya dapat dijelaskan secara ilmiah dan rasional. Cinta mungkin adalah perasaan yang sederhana sekaligus rumit, logis namun terkadang tak masuk akal, dan hanya dikaitkan dengan hati. Ternyata cinta tidak hanya melibatkan hati tetapi juga otak. Berikut adalah ulasannya.

Love at First Sight (Cinta pada Pandangan Pertama)
  “Dari mana datangnya cinta? Dari mata turun ke hati,” begitulah kata pepatah. Anggapan bahwa cinta semacam ini terjadi tidaklah seluruhnya mitos belaka, karena pada kenyataannya banyak orang yang mengalami hal ini. Seseorang dapat mengalami jatuh cinta dalam waktu hanya seperlima detik ketika ia melihat atau berada di dekat seseorang tertentu yang ia anggap cocok bagi dirinya, entah dari segi fisik, penampilan, aroma tubuh, maupun faktor lainnya.

  Faktanya, terdapat 12 area pada otak yang bekerjasama ketika kita bertatapan dengan orang yang menarik bagi diri kita. Fakta ini dikemukakan oleh seorang ilmuwan dari Syracuse University, Stephanie Ortigue. “Cinta adalah salah satu konsep terpenting dalam kehidupan, sebagai seorang ilmuwan saya ingin membawa rasionalitas ke ranah irrasionalitas, dan juga ingin melihat bahwa cinta juga terjadi pada otak,” begitulah pernyataan Stephanie Ortigue mengenai risetnya yang akan segera dirilis dalam jurnal ilmiah.

   Timnya menemukan bahwa ketika seseorang jatuh cinta, beberapa area pada otaknya mengeluarkan senyawa kimia tertentu yang menimbulkan euphoria atau perasaan bahagia. Senyawa tersebut antara lain dopamin, oxytocin/oksitosin, adrenalin/epinefrin, dan vassopresin. Dopamin merupakan senyawa hasil metabolisme asam amino tirosin yang berperan sebagai prekursor beberapa hormon yang berkenaan dengan perasaan bahagia dan bersifat adiktif. Oksitosin merupakan suatu hormon peptida siklik yang terdiri atas beberapa asam amino. Hormon ini menyebabkan relaksasi otot dan biasa dikenal sebagai “hormon cinta”. Adrenalin merupakan hormon benzenoid yang menyebabkan kenaikan aktivitas metabolisme tubuh, ditandai dengan meningkatnya kecepatan detak jantung dan tekanan darah. Pengaruh hormon ini mungkin yang paling terlihat jelas ketika seseorang mengalami jatuh cinta. Kemudian hormon terakhir adalah vassopresin yang diekskresikan oleh kelenjar hipofisis di otak. Hormon ini merupakan hormon antidiuretik yang berfungsi meningkatkan penyerapan kembali air oleh ginjal. Terlihat bahwa memang senyawa-senyawa tersebut berperan penting dalam metabolisme tubuh seseorang yang mengalami jatuh cinta.

  Studi lain mengatakan juga terjadi peningkatan nerve growth factor (NGF), suatu protein yang berperan penting pada ketahanan sel otak. Peningkatan ini terpantau pada pasangan yang saling jatuh cinta dan mampu menjelaskan fenomena cinta pada pandangan pertama. Maka, tidak heran jatuh cinta dapat membuat seseorang lebih sehat dan tidak mudah terkena penyakit ingatan.


Maternal Love (Cinta Ibu) dan Unconditional Love (Cinta Tanpa Kondisi)

  Pada tahun 2004, sebuah studi yang difokuskan mengenai cinta ibu yang terdapat pada 20 otak ibu dipublikasikan pada jurnal ilmiah Neuroimage. Aktivitas otak para ibu dimonitor ketika mereka diperlihatkan foto anak-anak mereka sendiri, foto anak-anak lain yang berusia serupa, foto teman-teman mereka, dan foto kolega mereka. Dibandingkan dengan aktivitas seseorang yang mengalami jatuh cinta pada studi sebelumnya, para peneliti menemukan cintanya para ibu (maternal love). Cinta ini sedikit berbeda dengan cinta romantis dan terlihat pada daerah otak tengah bagian dalam yang disebut periaqueductal gray matter (PAG), suatu area yang mengandung reseptor ikatan antara ibu dan anak.

  Bentuk cinta lainnya yang serupa dengan maternal love adalah unconditional love. Unconditional love diobservasi pada 17 relawan yang diperlihatkan foto anak-anak maupun orang dewasa yang mengalami keterbelakangan intelektual. Hasilnya adalah terjadi peningkatan aktivitas dari brain’s reward system yang juga berpengaruh terhadap PAG pada maternal love. Ortigue mengatakan bahwa maternal love dan unconditional love kemungkinan menjalani proses yang serupa di otak. Terbukti bahwa perasaan cinta juga dikendalikan oleh otak.

  Melihat ulasan tersebut tentu membuat Anda berpikir bahwa ternyata cinta tidaklah se-irrasional yang kita kira dan justru merupakan perasaan yang sangat logis karena memang melibatkan otak. Perasaan jatuh cinta pun berdampak positif karena dapat meningkatkan motivasi pada sistem otak, menyebabkan hormon-hormon metabolik tertentu beraktivitas dengan baik, serta menguatkan sel otak. Cinta akan membuat Anda sehat!! :D

Diolah dari berbagai sumber
Sumber gambar: http://yoursimplelife.files.wordpress.com & http://michellechristina.com

Read more...

“Jurassic Park” Bukan Lagi Fiksi Sains


  Tentu Anda ingat salah satu film paling sukses sepanjang sejarah, “Jurassic Park”. “Jurassic Park” merupakan film fiksi sains yang diproduksi pada tahun 1993 diadaptasi dari novel karangan Michael Crichton dengan judul yang sama yang mengisahkan tentang kloning makhluk penguasa zaman Jurassic, dinosaurus. Dinosaurus (berasal dari bahasa Yunani yang berarti “kadal mengerikan”) merupakan kelompok vertebrata yang berbeda-beda yang hidup pada zaman Triassic (230 juta tahun yang lalu) hingga akhir zaman Cretaceous (sekitar 65 juta tahun yang lalu). Dinosaurus umumnya memiliki ukuran yang sangat besar.

  Alkisah, pada film tersebut, peneliti menemukan fosil seekor nyamuk purba yang terperangkap dalam getah tumbuhan hingga menjadi amber (semacam batu getah). Di dalam perut nyamuk tersebut terdapat darah dinosaurus yang ia hisap. Darah ini tentu mengandung informasi genetik dari dinosaurus tersebut yaitu DNA (deoxyribonucleic acid; asam deoksiribonukleat). Para peneliti kemudian menggunakan DNA dari darah ini untuk mengklon dinosaurus melalui telur buaya. Namun karena beberapa bagian DNA dinosaurus tersebut telah rusak, peneliti “menambalnya” dengan menggunakan sekuens DNA dari sejenis katak Afrika karena paling sesuai dengan DNA dinosaurus. Hasilnya, berbagai macam jenis dinosaurus yang telah punah 65 juta tahun lampau terlahir kembali lewat proses kloning. Kemudian dinosaurus seperti Tyrannosaurus, Triceratops, Stegosaurus, Bracchiosaurus, Velociraptor, Stegodon, Pterodactyl, dan lainnya memenuhi hutan di daerah Kosta Rika membentuk kebun dinosaurus yang disebut “Jurassic Park”.

  Penggalan film “Jurassic Park” tersebut tidaklah sepenuhnya khayalan. Pasalnya, teknologi kloning saat ini berkembang sangat pesat. Sekuens genom, produksi binatang transgenik/hibrid, hingga kloning domba merupakan salah satu contoh keberhasilan ilmu genetika dewasa ini. Kloning hewan yang telah punah merupakan hal yang tidak mustahil untuk dilakukan, bahkan sangat mungkin.

  Meski sangat mungkin dilakukan, sayangnya informasi yang dibutuhkan untuk mengklon dinosaurus, yaitu DNA mereka rusak dan hancur seiring berjalannya waktu. Dinosaurus terakhir ditemukan sekitar 65 juta tahun yang lalu, sedangkan DNA hanya sanggup bertahan paling lama 500.000 tahun. Menurut Jack Horner, ahli paleontologi dinosaurus dari Montana State University mengaku belum pernah menemukan DNA dinosaurus. Ia dan koleganya pernah menemukan suatu jaringan tipis milik Tyrannosaurus pada tahun 2005, namun ia mengklaim tidak ada DNA pada jaringan tersebut, hanya biomolekul lain selain DNA.

  Namun, para ahli genetika telah menemukan cara alternatif untuk membangun “Jurassic Park”. Mereka telah membangun sekuens genom dari salah satu DNA spesies dinosaurus, yaitu dinochicken. Dinamakan seperti itu karena dinosaurus ini memiliki bentuk morfologi mirip dengan ayam modern, namun memiliki cakar, gigi, tungkai depan, dan ekor layaknya velociraptor mini. Menurut mereka hanya butuh waktu beberapa tahun dan dana untuk membuat proyek ini menjadi kenyataan.
  Siapkah Anda berhadapan dengan dinosaurus?

Diperoleh dari berbagai sumber
Sumber gambar: http://cache.gawkerassets.com/assets/images/8/2011/07/1993_jurassic_park_wallpaper_001.jpg

Read more...

Nanopartikel Membahayakan Kesehatan?


  Nanosains dan nanoteknologi merupakan ranah ilmu yang dewasa ini berkembang sangat pesat dan digunakan dalam berbagai keperluan. Ukuran partikel yang kecil namun efisiensi yang lebih tinggi merupakan alasan ilmu ini dikembangkan. Namun, ternyata tidak hanya efek positif yang dapat dihasilkan dari perkembangan sains dan teknologi ini tetapi juga efek negatif. Nanopartikel ditengarai membahayakan kesehatan manusia yang kontak dengannya.

  Para peneliti dari Centre of Cancer Biomedicine Norwegian Radium Hospital menemukan bahwa nanopartikel dapat mengganggu jalannya transportasi substansi vital masuk dan keluar sel. Tim peneliti ini juga menemukan bahwa terganggunya transportasi tersebut mengakibatkan  kerusakan fisiologis sel dan mengganggu fungsi sel yang normal. Meski beberapa jenis nanopartikel telah dimanfaatkan sebagai obat, efek jangka panjangnya dikhawatirkan dapat mengganggu transportasi substansi vital pada sel.

  Nanopartikel dapat memasuki tubuh manusia melalui berbagai macam mekanisme. Nanopartikel terlebih dahulu disimpan di dalam vesikel yang berada pada permukaan sel. Vesikel kecil kemudian bergabung membentuk vesikel besar seperti badan multivesikular. Badan multivesikular ini kemudian bergabung dengan lisosom, dimana protein dan makromolekul lainnya dipecah oleh protease dan enzim lainnya. Nanopartikel yang terkandung di dalamnya dapat menyebar di dalam sel dan dapat keluar melalui jalur endosom ataupun daur endosom.

  Tim peneliti ini kemudian bereksperimen dengan menggunakan nanopartikel besi oksida yang biasa digunakan pada pencitraan resonansi magnetik (magnetic resonance imaging/MRI) selama 20 tahun. Peneliti menemukan bahwa meski 99% protein sel tidak berikatan dengan nanopartikel sehingga nanopartikel dapat keluar dari sel, 1% lainnya berikatan dengan sel dan tidak dapat dikeluarkan dari sel. Jumlah ini dikhawatirkan dapat mengganggu jalannya sistem transportasi internal sel melalui endosom.

  Penelitian ini menjadi penting terutama di bidang pengobatan dan industri farmasetika yang menggunakan nanopartikel. Nanopartikel yang diproduksi sebagai obat-obatan harus mengedepankan risiko akumulasi nanopartikel dalam sel yang dapat mengganggu sistem transportasi sel. Selain itu, nanopartikel obat yang tidak mencapai target harus dapat didegradasi dan dieksresi secara sempurna dari tubuh.

Disarikan dari ScienceDaily.com
Sumber gambar: http://www.bindbio.com/servlet/DownloadServlet?id=520

Read more...

Misteri Keberadaan “Multiverse” Alam Semesta Ganda


  Apakah alam semesta yang kita tinggali saat ini hanyalah salah satu dari banyak alam semesta di jagad raya? Apakah ada dunia dengan dimensi yang sama sekali berbeda dengan dunia kita saat ini? Kita tidak dapat memastikan hal itu saat ini. Meskipun konsep ini dapat dikatakan aneh, namun kemungkinan ini bisa menjadi kenyataan berdasarkan teori para ilmuwan yang meneliti keberadaan alam semesta ganda.

  Kemungkinan bahwa kita hidup di dalam multiverse bangkit dari teori “inflasi eternal” atau inflasi abadi. Teori ini menyatakan bahwa sesaat setelah terjadinya ledakan besar (big bang) yang membentuk alam semesta ini, ruang-waktu berekspansi dengan laju yang berbeda-beda ke arah yang berbeda pula. Ruang-waktu yang berekspansi ke berbagai arah ini yang akhirnya membentuk semacam gelembung alam semesta yang berlainan dimana berfungsi sesuai dengan hukum fisikanya masing-masing.

  Melalui studi terbaru, para ilmuwan berasumsi bahwa apabila kita berada di dalam multiverse, alam semesta kita dapat tertarik ke alam semesta lain bahkan bertubrukan. Tubrukan ini dapat meninggalkan radiasi gelombang mikro pada latar kosmik (cosmic microwave background radiation). Tanda-tanda inilah yang mulai saat ini diteliti para ilmuwan untuk membuktikan keberadaan alam semesta ganda.

  Menurut astrofisikawan asal Imperial College London, Daniel Mortlock, penelitian ini akan membawa teori inflasi abadi dan tubrukan gelembung alam semesta menjadi terukur sebagai bagian dari sains. Apabila dua alam semesta bertubrukan, pola radiasi gelombang mikro yang melingkar akan terbentuk di latar kosmik. Hal ini serupa apabila kedua gelembung sabun bergabung, permukaannya akan membentuk lingkaran. Para peneliti telah mengembangkan algoritma komputer untuk menganalisis kesesuaian observasi CMB (cosmic microwave background).

  Ide adanya alam semesta lain di luar sana memang membingungkan, namun para peneliti beranggapan bahwa hal ini masuk akal. Banyak konstanta fundamental dalam alam semesta kita, seperti misalnya kekuatan gravitasi dan laju cahaya terlihat sangat sesuai dan sengaja diciptakan untuk alam semesta dimana galaksi, bintang, planet, dan kehidupan dapat terbentuk. Suatu kemungkinan bahwa di luar sana terdapat alam semesta lain dengan hukum fisika yang berbeda yang tidak sesuai dengan kehidupan dan sesuai dengan kehidupan sehingga terdapat makhluk hidup.

  Kemungkinan bahwa alam semesta tidak hanya satu juga berawal dari kenyataan bahwa kejadian tertentu dapat berulang pada ruang dan alam semesta yang terbatas. Teori ini juga yang mendasari adanya anggapan bahwa terdapat duplikasi Bumi dan duplikasi diri kita di luar sana.
Apakah penelitian selanjutnya akan membuktikan hal ini? Kita lihat nanti.

Disarikan dari LiveScience.com
Sumber gambar: http://i.livescience.com/images/i/18924/i02/multiverse-theory.jpg?1313157287

Read more...

7 Teori Awal Mula Terbentuknya Kehidupan


  Kehidupan di Bumi berawal dari 3 miliar tahun yang lalu mulai dari mikroba yang sangat sederhana hingga mengarah ke bentuk kehidupan yang sangat kompleks saat ini. Namun bagaimana organisme pertama muncul di planet yang satu-satunya kita ketahui memiliki bentuk kehidupan ini? Berikut adalah tujuh teori sains tentang awal mula terbentuknya kehidupan di Bumi.

1. Percikan Listrik
Percikan listrik yang berasal dari petir dapat membentuk molekul asam amino dan gula dari bahan baku air, metana, amonia, dan hidrogen pada atmosfer purba miliaran tahun yang lalu. Teori didasari atas eksperimen Miller-Urey yang mendemonstrasikan atmosfer zaman itu dan memberikan kejutan listrik tegangan tinggi sehingga menghasilkan asam amino sederhana dan gula. Kemudian dari molekul sederhana tersebut, molekul-molekul yang lebih kompleks mulai terbentuk yang mendasari terbentuknya kehidupan awal di muka bumi.

2. Tanah Liat
Molekul kehidupan pertama mungkin ditemukan pada tanah liat. Permukaan tanah liat purba tidak hanya mengandung molekul-molekul organik penyusun kehidupan, tetapi juga menyusunnya hingga membentuk pola layaknya gen kita saat ini. Seorang kimiawan asal University of Glasgow, Skotlandia, Alexander Graham Cairns-Smith berpendapat bahwa kristal mineral pada tanah liat dapat menyusun molekul organik menjadi bentuk yang terorganisir hingga dapat membentuk DNA dan protein. DNA merupakan molekul awal pembentuk sel.

3. Lubang Laut Dalam
Teori lubang laut dalam mengasumsikan bahwa kehidupan dimulai dari lubang-lubang hidrotermal bawah laut yang menyemburkan molekul organik kaya hidrogen. Ceruk-ceruk bebatuan pada laut dalam menyediakan mineral yang dapat berfungsi sebagai katalis reaksi yang membentuk molekul kehidupan awal. Tersedianya energi kimia dan kalor yang melimpah pada lubang hidrotermal laut dalam juga menguatkan teori ini.

4. Es
Teori es merupakan teori selanjutnya. Es kemungkinan menutupi sebagian lautan sekitar tiga miliar tahun yang lampau, dimana sinar matahari tiga kali lebih redup dibanding sekarang. Lapisan es yang mungkin bisa setebal ratusan meter ini melindungi molekul organik yang rentan terhadap suhu tinggi, sinar ultraviolet, dan radiasi kosmik. Lapisan es ini menjadi semacam “kulkas” bagi molekul organik yang memungkinkannya dapat bertahan lebih lama dan membentuk reaksi awal terbentuknya kehidupan.

5. Dunia RNA (ribonucleic acid; asam ribonukleat)
Saat ini seluruh bentuk kehidupan membutuhkan DNA untuk membentuk protein, dan juga membutuhkan protein untuk membentuk DNA. Lalu bagaimana mereka dapat terbentuk tanpa adanya molekul yang saling bergantung tersebut? Jawabannya adalah RNA. RNA dapat menyimpan informasi genetik layaknya DNA, dapat bertindak sebagai enzim layaknya protein, dan membantu pembentukan DNA dan protein. Teori “dunia RNA” ini menyatakan RNA terbentuk dari molekul-molekul organik awal yang kemudian membentuk DNA dan protein sebagai bahan awal terbentuknya kehidupan.

6. Siklus Reaksi Sederhana
Kebalikan dengan teori sebelumnya yang menyatakan bahwa kehidupan berawal dari molekul yang cukup kompleks seperti RNA, teori ini menyatakan bahwa kehidupan mungkin berawal dari molekul-molekul sederhana yang berinteraksi dalam suatu siklus reaksi. Siklus reaksi ini kemudian membentuk suatu sel yang sangat sederhana yang kemudian berevolusi terus menerus membentuk sel yang semakin kompleks. Teori ini mengedepankan model metabolisme dibandingkan dengan model gen dari teori “dunia RNA”.

7. Panspermia
Mungkin kehidupan bukan berawal dari bumi, tetapi dari suatu tempat di luar sana yang kemudian menghasilkan istilah “panspermia”. Penemuan sejenis mikroba di Mars diasumsikan berasal dari batuan kosmik yang secara periodik menghantam Mars. Begitupun halnya dengan Bumi, beberapa ilmuwan memiliki pendapat yang kontroversial bahwa meteorit Martian yang ditemukan di Bumi mengandung mikroba yang menjadi bentuk awal kehidupan di Bumi. Bagaimanapun apabila teori ini benar, pertanyaan yang diajukan bukan lagi bagaimana awal kehidupan di Bumi tetapi bagaimana awal kehidupan di suatu tempat di luar sana.

Bagaimanapun juga ketujuh konsep di atas masih berupa teori dan belum dapat dipastikan kebenarannya. Mungkin kita tidak akan pernah mengetahui secara pasti bagaimana kehidupan awal di Bumi ini dapat terbentuk. Wallahu a’lam bisawab.

Diterjemahkan secara bebas dari LiveScience.com
Sumber gambar: http://asa3.org/zine/wp-content/uploads/2011/01/originoflife2.jpg
 
Read more...

Nanopartikel Karbon Aktif Sebabkan Inflamasi Paru-Paru


  Karbon aktif banyak dimanfaatkan oleh manusia terutama sebagai adsorben dikarenakan luas permukaannya yang besar. Karbon aktif ini merupakan karbon yang berkarakteristik memiliki banyak pori sehingga luas permukaannya besar dan menjadi aktif. Meski memiliki banyak manfaat, ternyata karbon aktif juga memiliki dampak buruk terhadap kesehatan manusia. Peneliti dari University of Iowa Roy J. and Lucille A. Carver College of Medicine menemukan bahwa inhalasi nanopartikel karbon aktif dapat meningkatkan sumber inflamasi paru-paru hingga dua kali lipat.

  Martha Monick, Ph.D., seorang professor penyakit dalam University of Iowa yang memimpin riset ini menemukan bahwa nanopartikel aktif ini dapat menyerang jaringan dan mematikan sel paru-paru sehingga inflamasi terjadi. Tim peneliti ini juga menemukan bahwa inhalasi nanopartikel karbon aktif dari sumber seperti gas buang mesin diesel dan tinta printer menyebabkan respons awal paru-paru terhadap inflamasi. Namun hal ini bukan berarti apabila kita melewati kabut asap buangan diesel langsung menyebabkan paru-paru kita sakit.

  Pada awalnya para peneliti berhipotesis bahwa kematian sel berlangsung secara apoptosis, yaitu suatu proses kematian sel yang diakibatkan oleh senyawa kimia tertentu sehingga terjadi pemisahan organel-organel sel namun tetap di terlindungi membran dan tidak merusak jaringan di sekitarnya. Namun, hasil eksperimen menunjukkan bahwa proses yang lain, yang disebut piroptosis terjadi. Piroptosis merupakan proses kematian sel karena hancurnya membran sehingga organel-organelnya keluar. Penemuan lain yang cukup mengejutkan dari eksperimen ini adalah bahwa nanopartikel karbon aktif juga dapat menghancurkan makrofag. Makrofag adalah salah satu bentuk sel darah putih yang berperan dalam sistem imunitas manusia yang dapat “memakan” mikroorganisme patogen. Pada paru-paru, makrofag bertindak sebagai pencegah infeksi. Hal ini juga yang menyebabkan inflamasi paru-paru semakin meningkat akibat nanopartikel ini.
Hasil penelitian mereka telah dipublikasikan di Journal of Biological Chemistry. Melalui hasil penelitian ini inflamasi paru-paru karena faktor lingkungan dapat dijelaskan akibat adanya nanopartikel karbon aktif.

Sumber : www.sciencedaily.com
Sumber Gambar : http://images.sciencedaily.com/2009/05/090504094424-large.jpg

Read more...

Pemanasan Global Tingkatkan Kapasitas Pohon Menyerap Karbon


  Saat ini pemanasan global telah berada pada tingkat yang semakin mengkhawatirkan hingga diperlukan langkah-langkah untuk mencegah dan menguranginya. Salah satu cara yang paling efektif adalah dengan menanam lebih banyak pohon dan melindungi hutan. Pohon dan tetumbuhan lainnya menyerap karbon dioksida selama proses fotosintesis. Proses ini mampu mengurangi gas rumah kaca yang paling melimpah di atmosfer tersebut dan menyimpannya di dalam jaringan kayu.

  Suatu riset terbaru yang dipimpin oleh Jerry Melillo dari Marine Biological Laboratory (MBL) selama 7 tahun memperlihatkan bahwa pemanasan global dapat mempengaruhi kapasitas penyimpanan karbon dari pohon. Studi ini dilakukan di hutan Harvard tengah kota Massachussets dengan luas sekitar seperempat acre (sekitar 1000 m2). Hutan ini dihangatkan secara buatan sekitar 9°F di atas suhu normal untuk mensimulasikan keadaan pemanasan global dan respon tumbuhan terhadap kondisi tersebut.

   Studi sebelumnya menjelaskan bahwa naiknya temperatur tanah dapat meningkatkan dekomposisi materi organik tanah sehingga pelepasan karbon dioksida juga meningkat. Tetapi studi ini juga menunjukkan bahwa temperatur yang lebih hangat menstimulasi tumbuhan untuk menyerap lebih banyak karbon sebagai jaringan kayu. Hal tersebut dipengaruhi oleh senyawa nitrogen yang terbentuk saat temperatur tanah meningkat. Sebagian besar hutan di daerah subtropis hingga sedang, seperti di daerah Amerika Utara, Eropa, dan Eurasia kekurangan senyawa nitrogen untuk tumbuh kembangnya. Sehingga dengan meningkatnya senyawa nitrogen yang diserap tumbuhan dapat mempercepat pertumbuhannya.  Pemanasan pada tanah membuat senyawa nitrogen yang terdapat pada materi organik tanah terlepas sebagai senyawa nitrogen anorganik seperti ammonium. Ammonium merupakan komponen utama yang terdapat pada pupuk buatan. Ketika tumbuhan menyerap senyawa nitrogen anorganik ini pertumbuhannya akan semakin cepat dan mampu menyerap lebih banyak karbon.

  Proses biologis yang menghubungkan pemanasan tanah, meningkatnya penguraian materi organik, peningkatan senyawa nitrogen, dan peningkatan pertumbuhan pohon terlihat berhubungan erat untuk hutan daerah subtropis. Namun hasil studi ini kurang relevan diterapkan untuk hutan tropis karena studi ini dilakukan di daerah hutan subtropis yang kekurangan nitrogen. Sementara hutan tropis melimpah akan senyawa-senyawa nitrogen.

Sumber : www.sciencedaily.com
Sumber gambar : http://images.sciencedaily.com/2011/05/110525120050.jpg

Read more...

Superatom: Mengubah Atom Non-Magnet Menjadi Magnet


  Kebanyakan atom atau unsur  memiliki kecenderungan untuk membentuk molekul senyawa dengan karakteristik yang berbeda dengan unsur penyusunnya maupun unsur lain yang ada di tabel periodik. Namun beberapa unsur ditemui dapat membentuk kelompok atom  yang menyerupai unsur lain di tabel periodik dengan karakter magnetik yang tidak biasa.

  Suatu tim dari Virginia Commonwealth University telah menemukan suatu jenis baru superatom. Superatom ini terdiri dari atom magnesium yang termagnetisasi, meskipun magnesium alami tidak memiliki aktivitas magnetisme. Tim ini melaporkan bahwa superatom ini terbentuk dari logam pusat besi (Fe) dan 8 atom magnesium (Mg) membentuk struktur yang stabil menyerupai ikosahedral. Klaster ini membentuk semacam magnet kecil dengan sumber magnet berasal dari logam besi dan magnesium yang termagnetisasi. Kombinasi ini sesuai dengan kekuatan magnet dari satu atom Fe dengan distrbusi elektron spin tertentu yang merata di seluruh bagian klaster. Hasil riset mereka telah dipublikasikan pada Proceedings of the National Academy of Sciences.

   Riset yang didukung oleh U.S Department of Energy ini membuka peluang ditemukannya metode yang lebih efisien untuk mengubah atom yang tidak bersifat magnet menjadi magnet melalui pengaturan atom magnet tunggal. Meskipun terdapat lebih dari seratus unsur pada tabel periodik, hanya terdapat 9 unsur yang memiliiki karakter magnet pada keadaan padat. Kombinasi antara karakter magnet dan konduktivitas dari superatom ini juga menjadi keuntungan. Magnesium merupakan konduktror listrik yang baik sehingga superatom ini menggabungkan karakter magnet dan konduktivitas listrik pada kulit terluar.
  Kestabilan superatom ini dipengaruhi oleh struktur elektronik dari masing-masing penyusunnya. Kelompok superatom dengan delapan atom magnesium menambah kestabilan karena orbital valensi elektron yang terisi penuh. Orbital valensi yang penuh ini lebih sulit dipisahkan dibandingkan dengan orbital yang kosong atau setengah terisi sehingga menjadi lebih stabil. Orbital valensi yang penuh ini ditemui pada golongan gas mulia.
Kombinasi antara karakter kemagnetan dan konduktivitas listrik dari superatom ini dapat digunakan untuk aplikasi perangkat “elektronik molekular”. Teknologi semacam ini dapat menciptakan perkembangan di dunia komputer kuantum dengan prosesor yang lebih cepat, penyimpanan data yang lebih besar, dan sistem pengolahan data yang lebih terintegrasi.

Disarikan dari www.sciencedaily.com
Sumber gambar : http://www.sciencedaily.com/images/2011/06/110608153544.jpg


Read more...

Kemajuan Riset Material Sel Surya Berkat Persamaan Matematis Terbaru


  Suatu terobosan terbaru dilakukan oleh para ilmuwan dari University of Michigan yang mengembangkan suatu persamaan matematis untuk mengembangkan sel surya berbasis material organik. Mereka mengembangkan persamaan tersebut dari persamaan Shockley untuk dioda ideal yang juga berlaku untuk semikonduktor anorganik.

  Persamaan Shockley merupakan persamaan yang dikembangkan oleh William Bradford Shockley – yang juga merupakan penemu transistor – pada tahun 1949. Persamaan ini berupa persamaan eksponensial yang menghubungkan arus listrik dan tegangan pada suatu dioda atau semikonduktor anorganik, silikon misalnya. Modifikasi yang dilakukan oleh tim ini terhadap persamaan Shockley menghasilkan persamaan yang dapat diterapkan pada semikonduktor organik, misalnya senyawa berkarbon banyak. Senyawa organik yang dapat dijadikan sel surya bukan berasal dari sumber biologis, tetapi melalui sintesis laboratorium sehingga menyerupai senyawa alaminya. Setelah mensintesis senyawa organik tersebut, mereka membuat pemodelan energi foton yang diterima terhadap arus dan tegangan listrik yang dihasilkan oleh senyawa organik tersebut dengan menggunakan komputer. Pemodelan ini akhirnya menghasilkan suatu persamaan matematis baru hasil modifikasi persamaan Shockley yang dapat diterapkan pada semikonduktor organik. Hasil studi mereka telah dipublikasikan di jurnal Physical Review B.

Read more...