Dunia Islam dapat dikatakan mengalami ketertinggalan pada masa kini. Kemiskinan dan kebodohan seakan melekat. Bahkan cap terorisme pun terkadang disematkan kepada umat Muslim oleh negara-negara Barat. Kita juga tidak dapat memungkiri masih banyak negara Islam atau negara berpenduduk mayoritas Muslim yang merupakan negara miskin dan tertinggal. Beberapa dari negara tersebut bahkan mengalami krisis pangan, air bersih, energi, sumber daya alam (SDA) dan juga sumber daya manusia (SDM). Sedangkan lainnya masih merupakan negara berkembang yang umumnya memiliki kelimpahan sumber daya alam, termasuk Indonesia.
Tetapi kelimpahan sumber daya alam tersebut tidak menjanjikan kemakmuran dan kesejahteraan bagi warganya. Sebagai contoh negara kita Indonesia justru terkenal sebagai negara pengutang terbesar dengan tingkat kemiskinan yang masih relatif tinggi dan juga pengekspor tenaga kerja kasar. Sumber daya alam yang melimpah seperti minyak bumi dan gas, beragam bahan tambang, produk hutan, hingga kekayaan laut masih belum dimanfaatkan dengan maksimal. Kebanyakan dari hasil alam tersebut hanya diekspor dalam keadaan mentah tanpa proses yang dapat meningkatkan nilai jualnya, atau bahkan dikelola oleh pihak asing yang memiliki teknologi canggih.
Lalu apa akibat dari semua itu? Devisa mengalir ke luar negeri, sumber daya alam Indonesia tidak dapat dinikmati oleh bangsa sendiri, Indonesia terlilit hutang ekonomi yang tidak sedikit, dan rakyat yang terkena imbasnya dengan harga bahan kebutuhan yang tinggi sementara kesejahteraan masih rendah. Negara kita luluh lantak oleh produk-produk sains dan teknologi dari negara-negara non-Muslim. Penyebabnya hanya satu, kita sebagai umat Muslim tidak menguasai ilmu pengetahuan, sains dan teknologi, baik teoritis maupun praktis.
Ilustrasi yang mungkin dapat menjadi gambaran betapa sains dan teknologi dapat menjadi kekuatan suatu bangsa adalah laporan dari Islamic Educational Scientific and Cultural Organization (ISESCO) pada tahun 2000. Berdasarkan laporan tersebut sebanyak 57 negara Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) dan memiliki sekitar 1,1 miliar penduduk atau 20 persen penduduk dunia, mendiami wilayah seluas 26,6 juta kilometer persegi, dan menyimpan 73 persen cadangan minyak dunia hanya memiliki gross national product (GNP) sebesar 1016 miliar dollar US. Suatu angka yang sangat kecil jika dibandingkan dengan GNP satu negara maju seperti Perancis misalnya, yang berpenduduk kurang dari 60 juta jiwa dan mendiami wilayah sekitar setengah juta kilometer persegi dan memiliki GNP sebesar 1293 miliar dollar US.
Fakta itu dikarenakan negara-negara maju yang mayoritas non-Muslim termasuk Perancis mendasarkan pertumbuhan ekonominya pada ilmu pengetahuan dan teknologi, sementara negara-negara Muslim hanya bergantung pada sumber daya kualitatif seperti minyak bumi, gas, dan produk tambang, maupun kuantitatif seperti sumber daya manusia. Mayoritas negara Islam tidak membangun dasar iptek yang kuat sehingga tidak dapat bersaing secara global dengan negara-negara lain yang memiliki fundamen iptek yang kokoh.
Sekarang kita dapat melihat perkembangan pesat China dan India yang telah menjadi kekuatan ekonomi global baru yang bahkan telah mengalahkan Amerika Serikat. Kiat mereka serupa, membangun dasar iptek yang kuat dengan mengirimkan banyak pemudanya menimba ilmu di luar negeri yang kemudian kembali lagi untuk mengabdi kepada negara dengan membangun infrastuktur ilmu pengetahuan-teknologi. Hasilnya dapat dilihat saat ini, China merupakan negara pengekspor kedua terbesar di dunia setelah Amerika Serikat dan negara dengan industri manufaktur terbesar di dunia. Sementara India saat ini merupakan negara penyedia SDM untuk teknologi informasi terbanyak dan berkualitas. China dan India, berkat kegigihan mereka membangun dasar iptek, kini telah menuai hasilnya dengan menjadi negara dengan ekonomi adidaya di dunia.
Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia tentu sebenarnya memiliki potensi untuk hal yang sama. Banyaknya penduduk dapat menjadi kekuatan tersendiri seperti yang dicontohkan China dan India. Terlebih lagi, banyak anak muda Indonesia yang telah berprestasi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, baik di kancah nasional maupun internasional yang tentu merupakan suatu kebanggaan bagi kita semua. Tetapi semangat membangun dasar iptek yang kokoh ini tidak merata di seluruh pelosok Indonesia. Generasi muda Muslim Indonesia saat ini kebanyakan masih berkutat pada permasalahan fiqih dan aqidah yang terus menerus diperdebatkan. Hal ini tentu baik, apabila juga diimbangi dengan semangat membangun kembali sains Islam.
Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia tentu sebenarnya memiliki potensi untuk hal yang sama. Banyaknya penduduk dapat menjadi kekuatan tersendiri seperti yang dicontohkan China dan India. Terlebih lagi, banyak anak muda Indonesia yang telah berprestasi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, baik di kancah nasional maupun internasional yang tentu merupakan suatu kebanggaan bagi kita semua. Tetapi semangat membangun dasar iptek yang kokoh ini tidak merata di seluruh pelosok Indonesia. Generasi muda Muslim Indonesia saat ini kebanyakan masih berkutat pada permasalahan fiqih dan aqidah yang terus menerus diperdebatkan. Hal ini tentu baik, apabila juga diimbangi dengan semangat membangun kembali sains Islam.
Dalam rangka untuk membangkitkan semangat membangun sains Islam, yaitu sains yang didasarkan atas iman dan tauhid kepada Allah SWT, kita perlu menengok kembali ke sekitar abad ke-8 hingga abad ke-15. Pada masa dinasti 'Abbasiyah ini, dunia Islam pernah mencapai kejayaannya berkat tradisi intelektual yang melanda para cendekiawan Muslim pada periode itu. Pada masa keemasan Islam ini pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat marak dan pesat, diawali dengan translasi masif karya-karya para filsuf Yunani kuno. Cendekiawan Muslim pada masa itu mengembangkan lebih lanjut dan mendalam apa yang ditulis oleh para filsuf Yunani kuno seperti Socrates, Plato, Aristoteles, Hippocrates, dan lainnya menjadi cikal bakal sains dan teknologi modern.
Di masa keemasan inilah lahir para filsuf, ilmuwan, teknokrat, dan cendekiawan Muslim yang sangat termasyhur dan berjasa pada kehadiran era sains dan teknologi modern saat ini. Mereka tidak hanya dikenang oleh umat Muslim, tetapi juga seluruh dunia berkat keuletan dan inovasi dalam membangun fundamen yang kokoh bagi sains dan teknologi modern. Pada rentang masa itu telah lahir saintis Muslim seperti Jabir Ibnu Hayyan (atau dikenal dengan nama Geber di Eropa) yang dikenal sebagai "Bapak Kimia Modern", Al-Khawarizmi sang "Bapak Matematika" yang namanya diabadikan sebagai ilmu algoritma, dan Ibnu Sina (atau dikenal sebagai Avicenna di Eropa) seorang dokter Muslim yang termasyhur di dunia Timur dan Barat berkat bukunya "Canon of Medicine". Di masa ini juga lahir cendekiawan Muslim ternama lainnya seperti Al-Biruni (fisikawan), Ibnu Rusyd atau Averroes (filsuf dan ahli biologi), Ibnu Haitsam (teknokrat), dan juga Ibnu Khaldun (sosiolog-antropolog). Selain itu ada juga Al-Kindi (filsuf), Al-Razi (kimiawan kedokteran), Al-Bitruji (astronom), dan banyak lagi yang lainnya.
Sayangnya sejarah besar dunia Islam yang menjadi pionir dan peletak dasar sains dan teknologi modern kini dilupakan, bahkan oleh umat Islam sendiri. Generasi muda umat Islam lebih berfokus pada paradigma fikih dari Al-Qur'an. Padahal apabila ditelisik secara lebih mendalam sebenarnya ayat-ayat fikih di dalam Al-Qur'an hanya berjumlah 150 ayat, coba bandingkan dengan ayat-ayat kauniyah, yaitu ayat tentang alam semesta yang berjumlah hingga 750 ayat. Di dalam ayat-ayat kauniyah tersebut, Allah mengajak kita untuk berpikir, di antara berbagai fenomena alam yang ada terdapat tanda-tanda kekuasaan-Nya. Al-Qur'an bukanlah kitab sains, tetapi kenyataan ini tentu berarti sesuatu, yaitu kita juga perlu mendalami dan membangun sains yang bernafaskan iman dan tauhid seperti yang telah dilakukan oleh para cendekiawan Muslim di abad keemasan Islam.
“Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda–tanda bagi orang–orang yang
berakal”. [QS. Ali Imran (3): 190]
Kita semua tentu telah menyadari bahwa sains dan teknologi benar-benar memiliki peranan penting bagi kesejahteraan dan kemakmuran suatu bangsa dan negara. Indonesia mungkin memang terlambat dan tidak begitu fokus pada pembentukan dasar-dasar iptek yang kokoh sehingga mengalami ketertinggalan saat ini. Namun kita seharusnya sebagai generasi muda Muslim yang berasaskan tauhid dalam mengembangkan sains dan teknologi dapat kembali membangkitkan era kejayaan dunia Islam.
Sebagai generasi muda Muslim yang sebisa mungkin bermanfaat bagi bangsa, negara, dan juga agama, kita memiliki tanggungjawab untuk membuat kemajuan dengan mengembangkan sains Islam. Sains Islam tidak hanya menjadi identitas kita sebagai umat Islam, tetapi juga dapat menjadi momentum kebangkitan dan kejayaan Islam di kancah global.
No comments:
Post a Comment
Thanks for visiting and please leave your comments!! :D