Google Ghifari's Sketchbook - Learn Share Inspire

Inspirasi dari Dua Penulis Muda

Travel in Love karya Diego Christian
   Saya tidak tahu apa yang membuat saya tertarik untuk membuat suatu karya sastra. Saya memang penggila baca, penggemar buku, sejak balita hingga usia kepala dua saat ini. Belum pernah sebelumnya terbersit di dalam pikiran untuk membukukan tulisan-tulisan saya, yang saya ragukan dapat membuat pembaca tertarik untuk membacanya. Mungkin pemikiran tersebut datang dari dua orang mahasiswa luar biasa ini, Diego Christian Immanuel dan Azhar Nurun Ala. 

   Mereka adalah dua penulis muda berbakat. Yang pertama adalah penulis novel remaja yang telah menerbitkan dua novel yang diterbitkan oleh penerbit mayor yang berbeda dan keduanya meraih penghargaan bergengsi. Novel-novelnya mendapat beragam pujian positif baik dari sesama penulis, maupun pembaca. Yang kedua bisa saya sebut seorang penyair, atau pujangga. Karya prosa bebas, cerpen dan puisi di blog pribadinya dikagumi dan menginspirasi banyak anak muda di seluruh Indonesia. Hingga akhirnya ia menerbitkan tulisan-tulisannya tersebut ke dalam sebuah antologi yang diterbitkan secara self publishing yang responnya sangat hangat. Bayangkan betapa inspiratifnya kedua penulis muda ini!! 

Ja(t)uh karya Azhar Nurun 'Ala
   Keduanya adalah mahasiswa Universitas Indonesia, sama dengan saya (tapi saat ini saya lebih tepat disebut alumni karena sudah lulus sih. Hehe..). Merekapun juga berasal dari angkatan yang sama dengan saya, angkatan 2009, sehingga otomatis kami mengalami masa-masa orientasi universitas yang sama, mengalami saat-saat dimana organisasi kampus dipimpin oleh orang yang sama, dan mengalami beragam peristiwa yang mungkin serupa di kampus. Yahh, meskipun saya baru mengenal mereka beberapa hari belakangan ini. Bacaan mereka pun serupa dengan saya. Keduanya juga menggemari Dewi Lestari dan Paulo Coelho, saya pun begitu. Tidak, saya bukan berusaha untuk menyamakan diri dengan mereka semua. Saya sama sekali berbeda, belum layak disandingkan dengan kehebatan mereka. Mereka adalah pionir, inovator, dan inspirator terutama di bidang tulis menulis. Sementara saya hanyalah pengagum, pengikut, salah satu pembaca yang ikut terinspirasi akan karya-karya hebat mereka. Saya pun tak dapat memungkiri bahwa merekalah yang memercikkan semangat dan menginspirasi saya untuk menerbitkan tulisan-tulisan saya. 

   Seperti orang kebanyakan, saya pun merasa semangat di awal, beragam ide seakan mengalir tanpa henti. Saya pun dengan semangat menuliskan beragam gagasan saya, di buku catatan, di laptop, bahkan di notes BlackBerry. Tetapi ketika saya telah memasuki fasa ‘eksekusi’ beragam negativisme mulai menyerang saya. Mungkin yang saya tidak sadari adalah bahwa saya telah menempatkan ekspektasi yang tinggi terhadap karya saya kelak. Saya berharap karya yang akan saya buat nanti akan diterima secara luas dan baik oleh semua kalangan, seperti halnya dua orang penulis muda yang saya sebutkan di atas. Sehingga terbit keraguan dan pesimisme dalam benak saya bahwa tidak mungkin bagi saya menelurkan karya sehebat mereka. 

   Mungkin juga ekpektasi itu yang membuat saya tidak nyaman dalam mengeksekusi gagasan-gagasan menulis saya. Saya merasa melambat, tidak berhasrat penuh dalam menulis, hingga bahkan mandek karena merasa tidak jujur terhadap apa yang saya coba tuliskan. Saya pun akhirnya merasa tidak nyaman dan merasa ada sesuatu yang salah. Saya merasa kosong, hampa. Hingga akhirnya saya memutuskan untuk break sejenak dan memikirkan ulang apa yang kira-kira menjadi kesalahan saya dalam memulai semua ini. Ya, saya belakangan menyadari kesalahan saya memang dimulai sejak permulaan. 

   Saya juga membaca ulang beberapa buku favorit saya, terutama karya-karya Dewi Lestari dan Andrea Hirata. Saat membaca novel ‘Perahu Kertas’, saya disadari oleh salah satu penggalan cerita pada novel tersebut. Yaitu saat Keenan memberitahu Kugy bahwa cerpennya yang dimuat di majalah sama sekali tidak mencerminkan dirinya sesungguhnya yang berbeda saat ia menulis dongeng. Bahwa dalam cerpen tersebut, Kugy seperti merangkai kata-kata agar disukai pembaca, bukan berlari bebas seperti dalam dongengnya. Penggalan kisah ini kembali menyadarkan saya akan kejujuran dalam bercerita yang mungkin membuat saya merasa stuck karena hanya mendahulukan rangkaian kata, bukan kejujuran berkisah. 

   Ternyata masih belum selesai. Saya pun kemudian menyadari bahwa salah satu kesalahan saya dalam memulai ini adalah berekspektasi terlalu tinggi sehingga merasa khawatir akan kegagalan. Entah bagaimana muncul perasaan itu. Tetapi yang jelas saya bukanlah orang yang selalu terhindar dari kegagalan. Bahkan sebenarnya saya sudah terlalu sering gagal, jatuh berkali-kali di perasaan kecewa yang serupa dalam mendapatkan apa yang saya inginkan dan cita-citakan, terutama dalam berbagai kompetisi. Tetapi kegagalan-kegagalan itulah yang membuat saya memahami, mengerti, dan menghargai rasanya berada di puncak, ketika saya akhirnya bisa menjadi pemenang. Saya pun sadar saya tidak perlu lagi takut gagal. Saya hanya perlu memelihara perasaan itu pada seluruh proses kreatif saya. 

   Pemikiran-pemikiran itu yang akhirnya menyadarkan saya bahwa saya telah salah dalam memulai. Semoga setelah ini saya kembali menemukan diri saya, berkarya dengan penuh kejujuran terhadap apa yang memang ingin saya sampaikan kepada dunia, sehingga karya yang saya hasilkan akan mengalir apa adanya. Mohon doanya.. :)

Read more...

Apa Buku Pertama Anda?


Tiba-tiba saja saya terlintas pertanyaan tersebut di benak saya. Buku apa yang pertama kali saya baca? Sejauh ini saya telah membaca ratusan buku dari beragam genre dan banyak di antaranya telah menjadi koleksi pribadi saya di kamar. Mulai dari novel, roman, kumpulan cerpen dan prosa, puisi, kamus, buku-buku ilmiah mengenai kimia, fisika, matematika, biologi, studi Islam, hingga psikologi dan manajemen tersebar di rak buku saya. Cukup banyaknya buku yang telah saya koleksi saat ini menjadikan saya mengingat-ingat, buku apa yang sebenarnya pertama kali saya baca.

Ingatan saya pun kembali ke 16 tahun yang lalu saat saya masih berumur sekitar 5 tahun, ketika saya pertama kali mengenal aksara yang kemudian mengenalkan saya kepada dunia. Di usia tersebut saya sudah dapat membaca. Ya, mungkin termasuk cepat untuk anak dengan usia tersebut sudah mampu mengenal huruf dan angka. Pengetahuan saya tentang huruf dan angka tidak saya dapat dari sekolah atau taman kanak-kanak (saya tidak pernah mengenyam jenjang TK), melainkan dari almarhum Ayah saya. Beliaulah guru membaca pertama saya, yang membeli poster ilustratif berisi huruf dan angka, menuliskannya di papan hitam yang beliau beli dengan kapur tulis, mengajari saya mengeja serta melafalkannya untuk pertama kali, dan kata pertama yang saya tulis dan lafalkan dengan sempurna adalah "ABI", nama depan saya yang dalam bahasa Arab juga berarti "Ayah".

Ayah saya gemar membaca, meski beliau tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi. Koleksinya saat itu lebih banyak mengenai studi agama Islam yang masih saya simpan di rak buku saya hingga saat ini. Samar-samar saya mengingat beberapa koleksi buku Ayah saya yang menjadi buku pertama yang saya baca dalam hidup saya. 

Buku-buku awal yang saya antara lain adalah "Riwayat Ringkas 25 Nabi dan Rasul" karya K.M. Asyiq (terbit tahun 1975), "Bromocorah" karya jurnalis kondang Mochtar Lubis (terbit tahun 1983), dan "Lembaga Hidup" karya cendekiawan Muslim Buya Prof. Dr. Hamka (terbit tahun 1962). Seperti yang Anda duga, saya memang hanya membaca karya-karya tersebut tanpa tahu makna kalimat di dalamnya karena usia saya yang masih sangat belia saat itu. 

Tetapi tentu hal itu tidak menyurutkan kegemaran saya akan membaca dan menulis. Saya membaca apapun, kapanpun, dan dimanapun. Tidak peduli membaca buku, koran, majalah, iklan, poster, baliho, sampai huruf-huruf yang tercetak di kaos teman saya. Pada usia tersebut, saya juga suka menulis dan menggambar. Medianya pun beragam, di buku tulis dan buku gambar hadiah lomba 17 Agustus, di papan tulis, di kertas bekas, di koran dan majalah, di kertas undangan, bahkan saya juga menulis dan menggambar di dinding dan pintu rumah kami. Saya membaca dan menulis huruf dan angka hingga akhirnya saya dikenal sebagai anak dengan kemampuan membaca dan menulis yang sangat baik saat itu. 

Melihat kegemaran anaknya membaca dan menulis tentu membuat orangtua saya bangga dan ingin mengembangkan minat anaknya. Keterbatasan ekonomi dan finansial tidak membuat orangtua saya patah semangat dalam memberikan dukungan terhadap minat anaknya. Selang beberapa tahun kemudian saat saya sedang berada di bangku sekolah dasar, Ibu saya berinisiatif untuk meminjam buku kepada salah satu yayasan sosial untuk anak-anak di lingkungan tempat tinggal kami, yaitu Panti Nugraha. Buku yang dipinjamkan secara gratis oleh Panti Nugraha sangat beragam dan sangat sesuai dengan proses tumbuh-kembang anak yang memerlukan bahan bacaan yang meningkatkan daya kreativitas dan imajinasi, serta nilai-nilai moral yang luhur.

Ibu saya meminjam beragam jenis buku anak-anak dan membawanya pulang untuk saya baca di rumah. Saya masih ingat beberapa dari buku tersebut adalah ensiklopedia kreatif mengenai bumi dan flora-fauna, ensiklopedia mengenai kehidupan dinosaurus dan manusia purba, serta dongeng-dongeng terkenal dari berbagai daerah di seluruh Indonesia dan juga dari belahan dunia lainnya.

Buku-buku itu adalah salah satu titik balik saya, kecintaan pertama saya terhadap buku dan ilmu pengetahuan secara umum. Saya sangat menyukai ilustrasi yang hidup dan menarik dari ensiklopedia tersebut. Saya terpukau akan fakta-fakta tentang planet yang kita tinggali ini dan dunia flora-fauna yang telah saya ketahui bahkan sebelum anak-anak lain seusia saya. Saya terinspirasi akan keluhuran moral para penggerak cerita pada dongeng-dongeng dari negeri sendiri dan juga dari negara lain. Tidak berlebihan bahwa saya menganggap buku-buku awal tersebut yang telah membuka cakrawala dunia untuk saya, menjadi jendela tempat saya melihat hal-hal yang tidak saya ketahui sebelumnya, dan mengubah jalan hidup saya selamanya untuk terus mencintai buku dan ilmu pengetahuan sepanjang hayat.

Itulah kekuatan buku pertama bagi saya. Saya yakin Anda juga punya buku pertama yang Anda baca. Semoga Anda ingat dan dapat menarik hikmah serta berbagi pengalaman mengenai hal tersebut.. ;) 

Jadi, apa buku pertama Anda?


Read more...

Generasi Muda Penggerak Sains Islam


   Dunia Islam dapat dikatakan mengalami ketertinggalan pada masa kini. Kemiskinan dan kebodohan seakan melekat. Bahkan cap terorisme pun terkadang disematkan kepada umat Muslim oleh negara-negara Barat. Kita juga tidak dapat memungkiri masih banyak negara Islam atau negara berpenduduk mayoritas Muslim yang merupakan negara miskin dan tertinggal. Beberapa dari negara tersebut bahkan mengalami krisis pangan, air bersih, energi, sumber daya alam (SDA) dan juga sumber daya manusia (SDM). Sedangkan lainnya masih merupakan negara berkembang yang umumnya memiliki kelimpahan sumber daya alam, termasuk Indonesia.

   Tetapi kelimpahan sumber daya alam tersebut tidak menjanjikan kemakmuran dan kesejahteraan bagi warganya. Sebagai contoh negara kita Indonesia justru terkenal sebagai negara pengutang terbesar dengan tingkat kemiskinan yang masih relatif tinggi dan juga pengekspor tenaga kerja kasar. Sumber daya alam yang melimpah seperti minyak bumi dan gas, beragam bahan tambang, produk hutan, hingga kekayaan laut masih belum dimanfaatkan dengan maksimal. Kebanyakan dari hasil alam tersebut hanya diekspor dalam keadaan mentah tanpa proses yang dapat meningkatkan nilai jualnya, atau bahkan dikelola oleh pihak asing yang memiliki teknologi canggih. 

   Lalu apa akibat dari semua itu? Devisa mengalir ke luar negeri, sumber daya alam Indonesia tidak dapat dinikmati oleh bangsa sendiri, Indonesia terlilit hutang ekonomi yang tidak sedikit, dan rakyat yang terkena imbasnya dengan harga bahan kebutuhan yang tinggi sementara kesejahteraan masih rendah. Negara kita luluh lantak oleh produk-produk sains dan teknologi dari negara-negara non-Muslim. Penyebabnya hanya satu, kita sebagai umat Muslim tidak menguasai ilmu pengetahuan, sains dan teknologi, baik teoritis maupun praktis.

   Ilustrasi yang mungkin dapat menjadi gambaran betapa sains dan teknologi dapat menjadi kekuatan suatu bangsa adalah laporan dari Islamic Educational Scientific and Cultural Organization (ISESCO) pada tahun 2000. Berdasarkan laporan tersebut sebanyak 57 negara Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) dan memiliki sekitar 1,1 miliar penduduk atau 20 persen penduduk dunia, mendiami wilayah seluas 26,6 juta kilometer persegi, dan menyimpan 73 persen cadangan minyak dunia hanya memiliki gross national product (GNP) sebesar 1016 miliar dollar US. Suatu angka yang sangat kecil jika dibandingkan dengan GNP satu negara maju seperti Perancis misalnya, yang berpenduduk kurang dari 60 juta jiwa dan mendiami wilayah sekitar setengah juta kilometer persegi dan memiliki GNP sebesar 1293 miliar dollar US.

   Fakta itu dikarenakan negara-negara maju yang mayoritas non-Muslim termasuk Perancis mendasarkan pertumbuhan ekonominya pada ilmu pengetahuan dan teknologi, sementara negara-negara Muslim hanya bergantung pada sumber daya kualitatif seperti minyak bumi, gas, dan produk tambang, maupun kuantitatif seperti sumber daya manusia. Mayoritas negara Islam tidak membangun dasar iptek yang kuat sehingga tidak dapat bersaing secara global dengan negara-negara lain yang memiliki fundamen iptek yang kokoh.

   Sekarang kita dapat melihat perkembangan pesat China dan India yang telah menjadi kekuatan ekonomi global baru yang bahkan telah mengalahkan Amerika Serikat. Kiat mereka serupa, membangun dasar iptek yang kuat dengan mengirimkan banyak pemudanya menimba ilmu di luar negeri yang kemudian kembali lagi untuk mengabdi kepada negara dengan membangun infrastuktur ilmu pengetahuan-teknologi. Hasilnya dapat dilihat saat ini, China merupakan negara pengekspor kedua terbesar di dunia setelah Amerika Serikat dan negara dengan industri manufaktur terbesar di dunia. Sementara India saat ini merupakan negara penyedia SDM untuk teknologi informasi terbanyak dan berkualitas. China dan India, berkat kegigihan mereka membangun dasar iptek, kini telah menuai hasilnya dengan menjadi negara dengan ekonomi adidaya di dunia.

   Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia tentu sebenarnya memiliki potensi untuk hal yang sama. Banyaknya penduduk dapat menjadi kekuatan tersendiri seperti yang dicontohkan China dan India. Terlebih lagi, banyak anak muda Indonesia yang telah berprestasi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, baik di kancah nasional maupun internasional yang tentu merupakan suatu kebanggaan bagi kita semua. Tetapi semangat membangun dasar iptek yang kokoh ini tidak merata di seluruh pelosok Indonesia. Generasi muda Muslim Indonesia saat ini kebanyakan masih berkutat pada permasalahan fiqih dan aqidah yang terus menerus diperdebatkan. Hal ini tentu baik, apabila juga diimbangi dengan semangat membangun kembali sains Islam.

   Dalam rangka untuk membangkitkan semangat membangun sains Islam, yaitu sains yang didasarkan atas iman dan tauhid kepada Allah SWT, kita perlu menengok kembali ke sekitar abad ke-8 hingga abad ke-15. Pada masa dinasti 'Abbasiyah ini, dunia Islam pernah mencapai kejayaannya berkat tradisi intelektual yang melanda para cendekiawan Muslim pada periode itu. Pada masa keemasan Islam ini pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat marak dan pesat, diawali dengan translasi masif karya-karya para filsuf Yunani kuno. Cendekiawan Muslim pada masa itu mengembangkan lebih lanjut dan mendalam apa yang ditulis oleh para filsuf Yunani kuno seperti Socrates, Plato, Aristoteles, Hippocrates, dan lainnya menjadi cikal bakal sains dan teknologi modern.

   Di masa keemasan inilah lahir para filsuf, ilmuwan, teknokrat, dan cendekiawan Muslim yang sangat termasyhur dan berjasa pada kehadiran era sains dan teknologi modern saat ini. Mereka tidak hanya dikenang oleh umat Muslim, tetapi juga seluruh dunia berkat keuletan dan inovasi dalam membangun fundamen yang kokoh bagi sains dan teknologi modern. Pada rentang masa itu telah lahir saintis Muslim seperti Jabir Ibnu Hayyan (atau dikenal dengan nama Geber di Eropa) yang dikenal sebagai "Bapak Kimia Modern", Al-Khawarizmi sang "Bapak Matematika" yang namanya diabadikan sebagai ilmu algoritma, dan Ibnu Sina (atau dikenal sebagai Avicenna di Eropa) seorang dokter Muslim yang termasyhur di dunia Timur dan Barat berkat bukunya "Canon of Medicine". Di masa ini juga lahir cendekiawan Muslim ternama lainnya seperti Al-Biruni (fisikawan), Ibnu Rusyd atau Averroes (filsuf dan ahli biologi), Ibnu Haitsam (teknokrat), dan juga Ibnu Khaldun (sosiolog-antropolog). Selain itu ada juga Al-Kindi (filsuf), Al-Razi (kimiawan kedokteran), Al-Bitruji (astronom), dan banyak lagi yang lainnya.

   Sayangnya sejarah besar dunia Islam yang menjadi pionir dan peletak dasar sains dan teknologi modern kini dilupakan, bahkan oleh umat Islam sendiri. Generasi muda umat Islam lebih berfokus pada paradigma fikih dari Al-Qur'an. Padahal apabila ditelisik secara lebih mendalam sebenarnya ayat-ayat fikih di dalam Al-Qur'an hanya berjumlah 150 ayat, coba bandingkan dengan ayat-ayat kauniyah, yaitu ayat tentang alam semesta yang berjumlah hingga 750 ayat. Di dalam ayat-ayat kauniyah tersebut, Allah mengajak kita untuk berpikir, di antara berbagai fenomena alam yang ada terdapat tanda-tanda kekuasaan-Nya. Al-Qur'an bukanlah kitab sains, tetapi kenyataan ini tentu berarti sesuatu, yaitu kita juga perlu mendalami dan membangun sains yang bernafaskan iman dan tauhid seperti yang telah dilakukan oleh para cendekiawan Muslim di abad keemasan Islam.


Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda–tanda  bagi orang–orang yang berakal”. [QS. Ali Imran (3): 190]

   Kita semua tentu telah menyadari bahwa sains dan teknologi benar-benar memiliki peranan penting bagi kesejahteraan dan kemakmuran suatu bangsa dan negara. Indonesia mungkin memang terlambat dan tidak begitu fokus pada pembentukan dasar-dasar iptek yang kokoh sehingga mengalami ketertinggalan saat ini. Namun kita seharusnya sebagai generasi muda Muslim yang berasaskan tauhid dalam mengembangkan sains dan teknologi dapat kembali membangkitkan era kejayaan dunia Islam.

   Sebagai generasi muda Muslim yang sebisa mungkin bermanfaat bagi bangsa, negara, dan juga agama, kita memiliki tanggungjawab untuk membuat kemajuan dengan mengembangkan sains Islam. Sains Islam tidak hanya menjadi identitas kita sebagai umat Islam, tetapi juga dapat menjadi momentum kebangkitan dan kejayaan Islam di kancah global.
  
Read more...

Optimasi Nanopartikel untuk Aplikasi Komersial


   Nanopartikel saat ini banyak digunakan pada beragam produk komersial mulai dari katalis, media cat dan cairan magnetik, hingga kosmetik dan tabir surya. Suatu review terbaru dari peneliti di Swedia dan Spanyol mendeskripsikan hasil kerja terkini untuk optimasi sintesis, dispersi, dan fungsionalisasi permukaan titania (titanium dioksida), seng oksida, dan seria (serium oksida) -- tiga nanopartikel utama yang digunakan pada fotokatalis, penghalau sinar UV (ultraviolet), dan tabir surya. Review mereka dipublikasikan pada 26 April 2013 di jurnal Science and Technology of Advanced Materials.

    Dengan keberhasilan aplikasi komersial nanopartikel titania untuk kaca swabersih pada jendela di gedung-gedung bertingkat tinggi, kini ketertarikan untuk mengaplikasikan sistem fotokatalisis dan pelapis titania swabersih pada beragam material konstruksi semakin meningkat. Pelapisan ini tidak hanya melindungi permukaan gedung untuk tetap bersih tetapi juga dapat mengurangi konsentrasi polutan berbahaya di udara. Sifat anti-bakteri dari pelapis fotokatalis juga menjadi solusi untuk mengendalikan bakteria berbahaya yang persisten, yang merupakan karakter yang sangat berguna terutama bila digunakan di rumah sakit.

   Sementara itu, pelapis yang memiliki karakter menyerap atau menangkal sinar UV saat ini memiliki dua pemanfaatan utama: sebagai pernis pelindung pada permukaan kayu, dan sebagai pelapis penghalang sinar UV pada permukaan produk maupun peralatan berbasis polimer untuk mencegah pelapukan.

   Studi review tersebut menjelaskan secara struktural dan kimiawi apa saja yang diperlukan dan beragam rute yang dapat digunakan untuk memproduksi fotokatalis transparan serta pelapis dan tabir surya penghalau sinar UV berbasis nanopartikel. Penulis artikel tersebut mengulas metode utama untuk sintesis nanopartikel titania, seng oksida, dan seria, dengan berfokus pada riset terkini mengenai pembuatan serbuk nanopartikel yang tidak teraglomerasi (tidak menggumpal). Penulis juga mengidentifikasi senyawa aditif organik yang merupakan dispersan yang efektif dan mampu meningkatkan kecocokan antara nanopartikel anorganik dengan matriks organik.

   Selanjutnya artikel ini mendiskusikan lebih jauh mengenai performa teknis dari nanopartikel, terutama kaitannya dengan keberadaannya di lingkungan. Mereka menyimpulkannya dengan menjelaskan prospek masa depan dari nanopartikel dan mengidentifikasi material terbaru yang menjanjikan, seperti pelapis yang multifungsi dan lembaran film hibrid.


ScienceDaily


Read more...

Mikroskop "Resolusi-Super" untuk Deteksi Struktur Nano



   Para peneliti telah menemukan suatu cara untuk melihat struktur nano sintetik dan molekul menggunakan mikroskop optik resolusi-super tipe baru yang tidak membutuhkan zat warna fluoresen, menjadikannya alat yang praktis untuk digunakan pada riset biomedis dan nanoteknologi. 

   "Mikroskop optik resolusi-super ini telah membuka jendela baru pada dunia nanoskop," ujar Ji-Xin Cheng, seorang associate professor teknik dan kimia biomedis dari Purdue University. Mikroskop optik konvensional dapat melihat objek berukuran tidak lebih kecil dari 300 nanometer (1 nanometer sama dengan sepermiliar meter), yang merupakan batasan yang disebut sebagai "limit difraksi". Limit difraksi didefinisikan sebagai setengah dari panjang gelombang cahaya yang digunakan untuk melihat spesimen pada mikroskop. Bagaimanapun, peneliti berharap mikroskop dapat digunakan untuk melihat struktur molekul seperti protein dan lipid, dan juga struktur nano sintetik seperti nanotabung yang memiliki diameter beberapa nanometer.

   "Limit difraksi merepresentasikan batasan fundamental dari resolusi pencitraan optik," ujar Cheng. "Stefan Hell dari Max Planck Institute dan lainnya telah mengembangkan suatu metode pencitraan resolusi-super yang membutuhkan penandaan fluoresens. Di sini, kami mendemonstrasikan suatu skema baru yang mendobrak limit difraksi pada pencitraan optik pada spesimen non-fluoresens. Karena bebas penanda, maka sinyal gelombang dari objek dapat langsung dideteksi sehingga kami dapat mempelajari lebih jauh struktur nano tersebut."

    Penjelasan mengenai penemuan ini secara detail dibahas pada makalah riset yang tampil sejak hari Minggu (28 April 2013) di jurnal Nature Photonics. Sistem pencitraan ini, yang disebut saturated transient absorption microscopy (STAM) menggunakan trio pancaran laser, termasuk pancaran laser yang berbentuk seperti donat yang hanya memendarkan beberapa molekul tertentu secara selektif. Elektron pada atom dari molekul yang berpendar keluar sesaat menuju tingkat energi yang lebih tinggi atau disebut juga sebagai proses eksitasi, sementara elektron lain tetap berada pada keadaan dasar. Citra objek dibentuk menggunakan laser yang mampu membandingkan perbedaan antara molekul dalam keadaan tereksitasi dan keadaan dasar.

   Para peneliti mendemonstrasikan sistem mikroskop tersebut dengan mengambil citra dari kepingan nano grafit yang memiliki lebar 100 nanometer. Sistem ini berpotensi besar pada studi nanomaterial, baik alami maupun sintetik. Riset selanjutnya di masa mendatang kemungkinan akan menyertakan laser dengan panjang gelombang yang lebih pendek. Ketika panjang gelombang cahaya memendek, peneliti dimungkinkan untuk meneliti objek yang lebih kecil secara lebih fokus.


ScienceDaily


Read more...

Fosil Predasi Pertama di Muka Bumi Ditemukan


   Sebuah fosil kecil berusia 1,9 miliar tahun yang berasal dari batu di sekitar Danau Superior, Kanada, memberikan gambaran pertama mengenai predasi organisme yang memakan organisme lainnya serta memberikan prediksi seperti apa rupa Bumi purba pada saat pertama kali terbentuk kehidupan. Fosil yang terawetkan oleh tanah kapur di sekitar danau ini menggambarkan aksi suatu mikroba purba sedang memakan fosil yang mirip cyanobacterium (bakteri cyan atau hijau-biru) yang disebut Gunflitia.

   Tim riset yang dipimpin oleh Dr. David Wacey dari University of Western Australia dan Bergen University, Norwegia dan Professor Martin Brasier dari Oxford University telah melaporkan hasil penelitian ini pada jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS). Disebutkan pada jurnal tersebut bahwa hasil penelitian tim ini menjadi bukti awal terbentuknya spesies heterotrofi yang memperoleh makanan dari bahan organik. Mereka juga menunjukkan bahwa kebanyakan mikroba purba tampaknya sangat menyukai Gunflitia sebagai kudapan lezat mereka dibanding jenis bakteri lainnya yang telah hidup pada saat itu seperti Huroniospora.

   "Apa yang kami sebut 'heterotrofi' di sini adalah hal yang sama terjadi ketika setelah kita makan malam, bakteria di usus kita memecah materi organik," ujar Professor Martin Brassier dari Departemen Ilmu Bumi Universitas Oxford, penulis makalah tersebut. "Sementara itu, terdapat bukti kimia yang menunjukkan bahwa  mode heterotrofi ini telah ada sejak 3,5 miliar tahun yang lalu. Pada studi ini untuk pertama kalinya kami dapat mengidentifikasi apa yang sebenarnya terjadi dan 'siapa yang memakan siapa'. Faktanya kita semua mengalami hal ini di tubuh kita dimana bau yang dihasilkan seperti telur busuk karena hidrogen sulfida yang dihasilkan sebagai gas buang proses tersebut. Sehingga, cukup mengherankan, bahwa kami dapat menyimpulkan kehidupan di Bumi pada 1,9 miliar tahun yang lalu akan berbau seperti telur busuk.

   Tim menganalisis fosil mikroskopik yang diameternya bervariasi antara 3-15 mikron (mikrometer) menggunakan teknik terbaru dan menemukan bahwa sebuah bentuk tubular yang diyakini merupakan selubung luar dari Gunflitia ternyata lebih berlubang setelah kematiannya dibandingkan fosil bakteria lainnya. Temuan ini konsisten dengan pernyataan bahwa Gunflitia lebih disukai sebagai makanan oleh mikroba dibanding jenis bakteri lainnya.

   Pada beberapa tempat kebanyakan fosil berukuran mikro telah tergantikan sebagian atau seluruhnya oleh besi sulfida, suatu hasil samping dari bakteria heterotrofik pereduksi sulfur/belerang yang juga merupakan penanda yang paling terlihat. Tim ini juga menermukan bahwa fosil Gunflitia ini juga membawa sejumlah kelompok bakteria berbentuk tabung yang lebih kecil, berukuran sekitar 1 mikron yang kemungkinan juga terlibat dalam konsumsi inang mereka.

   Dr. Wacey berkata: "analisis geokimia saat ini telah menunjukkan bahwa aktivitas berbasis sulfur dari bakteria dapat dideteksi hingga 3,5 miliar tahun yang lalu seperti yang kami laporkan pada jurnal Nature Geoscience pada tahun 2011. Sementara itu fosil Gunflint memiliki usia hanya sekitar setengah dan fosil tersebut juga menjadi bukti bahwa bakteria semacam itu berkembang biak dengan sangat baik pada masa itu sehingga mereka memiliki banyak pilihan terhadap apa yang mereka makan."

ScienceDaily


Read more...